
Oleh : Mita El-Rahma*
Membaca cerita pendek (cerpen) tak hanya membuat seseorang pandai berkhayal. Lebih dari itu, cerpen bisa sangat bermanfaat untuk menambah kepekaan rasa, memberikan pengalaman pengganti kenikmatan, mengembangkan imajinasi, memahami karakter manusia, hingga dapat melatih pola pikir untuk lebih terbuka dan cerdas melihat masalah.
Tahapan alur yang disajikan dalam sebuah cerpen juga tidak hanya menghanyutkan emosi pembaca. Tetapi juga banyak pelajaran dan pengalaman universal tentang sebuah kehidupan yang selalu bisa direlevansikan sesuai keinginan. Hal itu bisa menyangkut problem sosial, cinta dan persahabatan, kemanusiaan, politik, pendidikan, tradisi hingga religi (agama).
Membaca cerpen merupakan cara paling mudah untuk melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Maka tidak heran jika seringkali pembaca akan turut merasakan sedih, kecewa, marah atau bahagia. Saking larutnya, tanpa disadari pembaca juga bisa tiba-tiba tertawa, menangis, kagum dan terbangun semangatnya.
Perihal itu mungkin hampir semua pembaca pernah mengalaminya. Hanya saja, sedikit yang mau mengambil pelajaran dari apa yang telah dibaca. Bisa jadi sebab tidak begitu paham, atau memang hanya ingin tahu cerita tanpa ingin larut terlalu dalam. Tidak salah memang sebab itu hanya soal pilihan.
Kendati demikian, saya ingin berbagi mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan agama dalam sebuah cerpen karya KH. A. Musthofa Bisri (Gus Mus) dan AA Navis. Masing-masing berjudul Bidadari Itu Dibawa Jibril dan Robohnya Surau Kami. Keduanya memiliki alur, ketokohan dan pesan religius yang amat kuat bagi nalar keberagamaan kita hari ini.
Cerpen Bidadari Itu Dibawa Jibril karya Gus Mus misalnya, mengisahkan sosok wanita yang taat terhadap syariat Islam bernama Hindun. Namun demikian itu pun tidak lantas menjamin sosok Hindun tersebut menjamin akhir kehidupannya menjadi baik pula. Dalam cerpen tersebut justru sebaliknya, wanita bernama Hindun itu terperosok kepada ajaran yang menyesatkan sehingga ia memilih untuk murtad (keluar dari Islam).
Sekilas, hal tersebut seakan tabu, tetapi tidak menutup kemungkinan hal-hal seperti yang dialami oleh Hindun juga terjadi di sekitar kita. Bisa jadi ia tetap memeluk Islam, tetapi secara etika, akhlak dan ucapan tidak mencerminkan pribadi yang Islami dikarenakan salah dalam mengikuti kajian keislaman. Bahkan belakangan ini orang-orang seperti itu mulai menjamur, bukan?
Beragama Sebatas Ritual
Salah satu yang menjadi sebab ialah kesalahannya memandang Islam. Yaitu hanya dipahami sebatas ritual (baca: ibadah) tanpa mencoba mengelaborasikannya ke dalam ranah perilaku sosial (adab). Secara mendalam realita yang demikian itu juga tertutur dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis.
Diceritakannya, ada seorang kakek tua bernama Haji Saleh, yang setiap hari menjaga surau dan hanya beribadah pada siang dan malam. Ia tak banyak berhubungan dengan masyarakat sehingga tidak begitu memahami kultur, sikap dan cara untuk berbaur.
Hingga pada suatu ketika ia dibujuki oleh tokoh lain bernama Ajo Sidi dan mengikutinya saja tanpa mempertimbangkannya. Dan, begitu naas dialami oleh kakek tersebut, karena ia memilih bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya. Kembali, kita ditunjukkan bagaimana pengaruh religiusitas itu dalam diri manusia. Tanpa adanya keseimbangan antara akal dan budi, religiusitas adalah hal yang “membahayakan”, tampaknya.
Perihal itu semua, ada juga yang membuat cerpen untuk mencoba “menjawab” kegamangan yang ada dalam pola kita beragama, khususnya Islam. Cerpen itu ditulis pada 2006 silam dengan judul Bacaan Alquran Buat Simbah. Ceritanya, ada seorang anak perempuan bernama Ulya.
Sejak kecil hingga dewasa Ulya belajar agama dari Simbahnya sendiri. Ia juga mendapat pesan dari simbahnya itu perihal amaliah-amaliah rutin agar hidupnya selamat seperti membaca salawat sebanyak sepuluh kali setiap habis salat, ijazah manaqib dan sebagainya. Hal itu dilakukannya rutin hingga suatu saat ia beranjak dewasa Simbahnya jatuh sakit, sedangkan dia sedang menyelesaikan studinya di sebuah kampus di Semarang.
Namun, sebab keteguhan hati, kasih sayang dan mengutamakan budi pekerti, Ulya tetap pulang ke kampung halamannya di Kudus. Ulya menemani detik-detik terakhir simbahnya itu dengan bacaan yang dulu diajarkan kepadanya. Hingga akhirnya, ketika menjelang maghrib tiba, semua bacaan telah diselesaikan oleh Ulya, dan Simbahnya menutup mata dengan bahagia disampingnya.
Berdasar itu semua, saya ingin menjelaskan bahwa untuk memperbaiki religiusitas diri, seseorang tidak bisa mengandalkan ritual ibadahnya semata. Tetapi juga harus ada guru yang sayang dan mau membimbingnya dengan baik. Sehingga ajaran itu bisa benar-benar hidup dalam jiwa maupun raga, untuk kebaikan dirinya dan keluarga bahkan sekelilingnya.
Kita tidak bisa serta merta berprasangka bahwa kebenaran telah ada di sisi kita sebab rajin ibadah. Atau kita juga tidak bisa langsung menyalahkan orang lain karena (ibadahnya) berbeda dalam pandangan kita. Tetapi harus dilihat dengan jernih dan baik, bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dalam beragama. Maka, berbicara mengenai religiusitas diri, kita perlu mengoreksi, seberapa baik perilaku kita sehari-hari. Bukan merasa benar diri, apalagi sampai hati menebar benci kepada sesama warga di negeri ini. []
*) penikmat sastra, tinggal di Kudus