
Oleh: Kiai Khifni Nasif M.Pd.I
Desas-desus kandidat ketua Tanfidziyah PCNU Kudus, mulai muncul kepermukaan, mulai dari yang diusung masing – masing Majelis Wakil Cabang (MWC) hingga muncul nama – nama (tokoh) baru yang sebelumnya jarang kelihatan di berbagai kegiatan NU, baik di tingkat ranting, MWC maupun kegiatan NU cabang.
Sah-sah saja bagi setiap kader NU untuk dicalonkan maupun mencalonkan diri untuk menjadi ketua tanfidziyah NU Kudus. Semua tentu punya niat mulia, yaitu “khidmah” dan membawa organisasi ini semakin lebih baik dan maju ke depan.
Namun terlepas siapapun nanti yang terpilih menjadi ketua Tanfidziyah NU Kudus, setidaknya ia mesti bisa merevitalisasi empat pilar yang menjadi titik tolak lahirnya NU. Pertama, Nahdlatul Wathon. Saat itu bergerak dalam bidang pendidikan, di dalamnya diisi kalangan pesantren dan berupaya mencetak kader muda serta juru dakwah.
Kedua, Tashwirul Afkar. Organisasi ini bergerak di bidang pemikiran dan kajian, sebagai respons terhadap sejumlah kegelisahan yang ada atas situasi sosial politik saat itu. Organisasi ini tidak hanya diisi kalangan pesantren saja, juga dari kalangan nasionalis.
Untuk merevitalisasi kedua hal di atas, baik Nahdlatul Wathon maupun Tashwirul Afkar, barangkali bisa melalui langkah konkret dengan mendirikan Universitas NU di Kota Kretek ini. Hal itu sebagai menifestasi nyata mencetak akademisi-akademisi NU, setelah mereka menempuh pendidikan di bawah naungan LP Ma’arif.
Pada gilirannya, melalui itulah, diharapkan para kader itu akan menggerakkan ruang – ruang yang telah tersedia, baik melalui Rabithah Ma’ahid Al-Islamiyyah (RMI), Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dan lain sebagainya.
Ketiga, Nahdlatutujjar. Ini bergerak dalam bidang kemandirian ekonomi. Mengingat begitu besarnya potensi warga Nahdliyyin, setidaknya ketua NU Kudus ke depan mesti mampu menangkap peluang – peluang yang ada, dengan mendirikan badan usaha nyata yang benar-benar dimiliki NU untuk kemandirian organisasi dan warganya.
Itu, misalnya, bisa diwujudkan melalui pendirian Koperasi Simpan Pinjam (KSP) berbasis syari’ah, NU Mart, Rumah Sakit dan lain sebagainya. Disamping itu, ketua terpilih ke depan juga harus mampu merawat dan menjaga aset-aset NU, karena tidak menutup kemungkinan ada aset-aset NU yang masih ‘’berserakan’’ dan terbengkelai, baik di tingkat ranting hingga tingkat cabang.
Keempat, Komite Hijaz. Berangkat dari kepedulian para kiai pesantren atas kondisi politik saat itu yang mengancam akidah ahlussunnah wal jama’ah di Tanah Hijaz, maka mereka berkumpul dan membuat langkah-langkah konkret untuk menyelamatkan Aswaja, hingga akhirnya pertemuan tersebut dijadikan sebagai hari lahirnya NU.
Berpijak dari sini, ke depan NU Kudus setidaknya bisa memupuk semangat para kiai pesantren, terutama para kiai muda, agar mereka memiliki ghiroh ke-NU-an, peduli terhadap masa depan NU, berjuang dan berkhidmah kepada NU.
Langkah konkretnya bisa berupa menggelar halaqah – halaqah atau ruang – ruang konsolidasi rutin bagi para kiai di Kudus, baik struktural maupun kultural. Tidak hanya saat tahun – tahun politik saja, halaqah – halaqah seperti itu digelar.
Akhirnya, yang tak bisa diabaikan, tentunya, ketua terpilih hendaknya memenuhi syarat – syarat administratif. Dan yang juga mesti ditekankan, NU bukanlah ‘’persinggahan’’ akhir dan bukan jabatan transaksional, melainkan tempat berjuang yang hakiki, sehingga diperlukan kesiapan matang, baik materi maupun non materi, fisik maupun mental dan sebagainya. (*)
Kiai Khifni Nasif M.Pd.I,
Penulis adalah Ketua Tanfidziyah NU Ranting Ngembalrejo dan Sekretaris Aswaja Center Kabupaten Kudus.