Membaca (Kembali) Pesan KH. Hasyim Asy’ari

0
2537

Oleh: Baqi Maulana Rizki

Potret Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari/ Ilustrasi: NU Online

Izinkan Penulis mengulas sedikit isi pidato pembukaan Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari pada muktamar NU ke-16 di Purwokerto. Bagi penulis, ini sangat menarik, lantaran bisa digarisbawahi dan bisa memicu semangat untuk membangkitkan daya nalar setiap individu muslim, khsusnya kaum Nahdlyin.

Dalam pidatonya Hadlratusy Syaikh mengulas pentingnya menaikkan pola pikir dengan maksud untuk bisa memikirkan hal yang lebih besar, seperti memikirkan keadaan umat dan bangsa. Dari hal demikian, individu tidak terjebak hanya sibuk memikirkan diri sendiri. Yang menjadi titik tekan adalah untuk mampu memaksimalkan potensi daya nalar, dengan berperan aktif dalam pemikiran seputar hal-hal yang jauh lebih besar cakupan dan dampaknya.

Sebagai generasi muda, apalagi generasi Nahdlyin, perlu kiranya melanjutkan misi yang sudah di bangun oleh para sesepuh. Terkait pesan dari Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, penulis nilai sangat relevan dewasa ini, sebab sudah semakin terbuka akses untuk membantu meningkatkan daya nalar. Lihat saja, toko buku sudah tidak sulit ditemukan, sekolahan sudah semakin menjamur di penjuru kota dan desa, perguruan tingi mulai menampakkan eksistensinya dalam kehidupan.

Artinya, dengan banyaknya akses serta media yang bisa digunakan, generasi Nahdlyin sekarang mampu menggunakan itu sebagai pembantu dalam mengasah daya nalar.

Baiklah, langsung saja penulis sajikan penggalan pidato Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari yang dikutip dari buku “Berangkat dari Pesantren” karya KH. Saifuddin Zuhri (hal. 433). Ada tiga poin yang menjadi inti pembahasan.
Pertama, hadlratusy syaikh mengimbau khususnya kepada para ulama dan pemimpin untuk tetap bersyukur karena memiliki kelebihan dari rakyat pada umumnya, sebab kealiman dan jabatan para ulama dan pemimpin tidak diberikan secara cuma-cuma, karena tetap akan ada pertanggungjawaban baik di dunia maupun di akhirat.

Melihat kondisi masyarakat yang sudah tidak lagi terjajah, bagi yang hanya berpikir pada soal rumah tangganya dan pekerjaan yang berat, ini menjadi penanda kematian moral. Beliau mengimbau untuk bisa menjadi bagian dari umat yang merdeka, memberontak, bangkit, hidup dan mengetahui arti kemuliaan dan kehormatan.

Beliau meyebutkan Sahabat-sahabat Nabi Muhammad yang meningkatkan tingkat berpikirnya semisal Sayidina Abu Bakar, yang dahulu hanya memikirkan keadaannya sendiri terkait perdagangan dan pasarnya. Tetapi kemudian di zaman Madinah, ia mulai memikirkan soal-soal militer dan urusan-urusan Negara.

Contoh lain yaitu Sayidina Khalid bin Walid. Jika ia tidak memperluas tingkat bepikirnya, tentu akan puas hanya menjadi komandan kecil yang memimpin tentara dari ratusan prajurit saja dan tidak berpeluang menjadi komandan yang memimpin 45.000 prajurit.

Begitupun Sayidina Umar bin Khattab, kalau tidak memperluas tingkat berpikirnya tentu tidak berpeluang menjadi kepala negara khalifah dan mengembangkan Islam meluas mulai dari Syam (Syria) sampai ke Yaman, Iran dan Mesir.

Kedua, dengan tercapai kemerdekaan bangsa Indonesia yang sudah diperjuangkan, tidak berarti telah rampung urusannya. Sebaliknya, ada babak perjalanan baru yang pendek jaraknya (perjalanan dekat) tetapi sangat sukar dan penuh bahaya. Tokoh pendiri itu menggambarkan bahwa karena sudah robohnya gedung penjajahan dan perbudakan, maka selanjutnya adalah untuk mampu mendirikan gedung yang baru yang sesuai untuk ditempati.

Tidak bisa dimungkiri, dengan banyaknya aliran tentu, juga berdampak pada adanya kepentingan yang beragam. Inilah yang memicu perdebatan serta perselisihan maka kita harus mampu untuk tetap bekerja dengan tenang dan diam yang berfaedah, serta tidak terpancing dengan adanya propaganda.

Kita bisa meneladani Nabi Muhammad, yang, dalam menghadapi makian dan propaganda dari lawan-lawannya, tetap melakukan perkerjaan-perkerjaan dengan terus menerus serta diam dan tenang. Akan tetapi tetap memusatkan perhatiannya untuk mendidik dan melatih generasi supaya mampu berperan dalam bidang ekonomi, politik, militer, sipil, industri, dan lainnya.

Ketiga, pada masa penjajahan, upaya untuk membangkitkan hati umat, mencerdaskan umat, dan untuk menysusun barisan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sampai pada umat Islam Indonesia mampu melespakan diri dari ikatan perbudakan dan kehinaan, akan tetapi jangan terkecoh sebab penjajah kembali datang dengan alat-alatnya, perkakas-perkakasnya, serta tipu muslihat yang bisa jadi akan membuat ragu hati orang Indonesia. Ini menjadi kewajiban kita untuk menyadarkan sikap untuk tetap berjuang seperti awal perjuangan dalam menghadapi penjajah, hal ini sesuai surat Ali Imron ayat 173.

Para ulama sudah menjelaskan, hukum berperang adalah fardhu kifayah (cukup dijalani oleh sebagian), akan tetapi ada pengecualian bahwa kalau kaum kafir telah memasuki negeri Islam atau menyerbu ke dekat Islam maka berperang hukumnya fardhu ‘ain (harus dijalakan).

Demikian pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatan dengan segala kekuatan dan kesanggupan. Gerakan Islam pada masa ini dan hubungannya dengan gerakan masa datang bukanlah gerakan untung rugi, akan tetapi gerakan yang pada pokoknya satu diantara dua, Islam hidup dan umat Islam mulia atau Islam runtuh dan umat Islam runtuh.

Itulah tiga pokok yang penulis rangkum dalam kesempatan ini, semoga bagi kita siap dan mampu untuk tetap berperan aktif dalam mempertahakan serta mengisi kemerdekaan, dan jangan lupa untuk tetap berupaya menyelaraskan misi para pendahulu pada gerakan generasi sekarang. Wallahu a’lam. (*)

Comments