Ma Al Hijrah, Perayaan Tahun Baru Hijriyah di Pattani

0
2320

Catatan redaksi:

Kehadiran Tahun Baru Hijriyah, selalu disambut dengan suka cita dan ragam perayaan oleh umat Islam di berbagai tempat. Tak hanya di Indonesia, perayaan menyemarakkan tahun baru hijriyah juga dilakukan di negara lain, seperti di Pattani, Thailand. Berikut catatan Arofatul Ulya, mahasiswa Universitas Muria Kudus (UMK) yang juga alumnus MA. NU. Mu’allimat Kudus yang kini tengah di negara tersebut. (*)

Kemeriahan perayaan tahun baru hijriyah di Darunsat Wittaya Islamic High School

THAILAND, Suaranahdliyin.com – Tahun baru, bagi kebanyakan orang selalu memunculkan harapan baru dalam hidup. Demikian halnya dengan kehadiran tahun baru 1.440 Hijriyah belum lama ini. Umat Islam di berbagai tempat, merayakannya dengan caranya masing masing.

Perayaan menyambut tahun baru Islam itu, tak hanya dilakukan oleh masyarakat Nusantara, juga di negara lain, tak terkecuali masyarakat Islam di Sai Buri, Pattani, Thailand. Pada 5 Muharram 1440 H., bertempat di Darunsat Wittaya Islamic High School, pengurus, guru, para staff, serta peserta didik bersama merayakan tahun baru Hijriyah, yang dikenal dengan nama ‘’Ma Al Hijrah’’.

Perayaan tahun baru Hijriyah di sini sungguh unik. Semua partisipan mengenakan baju tradisional Melayu. Sebab, banyak dari penduduk Pattani yang merupakan keturunan Melayu. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama.

Menurut masyarakat setempat, perayaan Ma Al Hijrah dimulai dengan masuknya siswa siswi SMA, atau yang dikenal dengan Mattayom 4, 5, 6. Mereka masuk menuju halaman sekolah yang luas, dan duduk rapi di sana. Setelah itu, dilantunkan pembacaan ayat-ayat suci al-Quran dan nasyid sebagai penanda dibukanya acara.

Perayaan kali ini kian lengkap dengan ditambahnya festival pembuatan Bubur Asyuro. Terdapat 15 grup peserta dari siswa SMA yang mengikuti festival itu. Komposisi bubur terdiri atas beras, pisang kulit hijau, ubi, labu, kacang hijau, kacang hitam, jagung, jinten manis, jinten putih, lada hitam, gula merah, gula putih, serai, bawang merah, bawang putih, serta santan. Semua bahan diaduk menjadi satu di kawah besar, selayaknya kawah pembuatan jenang di Kudus.

Pembuatan bubur Asyura

Bubur tersebut diaduk selama 4-5 jam nonstop, hingga kalis menyerupai jenang. Soal rasa bubur ini, bergantung kepada pembuatnya. “Jika ingin manis, boleh manis. Jika ingin rasa lemak (gurih), boleh,” kata Fatimah Mayoni, guru Bahasa Melayu di sekolah tersebut.

Penggunaan baju kurung khas Melayu ketika perayaan Ma Al Hijrah, selain bertujuan untuk memeriahkan tahun baru Islam, juga bertujuan agar melestarikan budaya Melayu, membangkitkan semangat persatuan sesama umat Islam, dan mencintai budaya Melayu.

Lalu, Bubur Asyura yang terbuat dari beragam komposisi tak hanya untuk merayakan tahun baru Hijriyah, namun juga melambangkan banyak hal. Di antaranya, mengingat sejarah Nabi Nuh AS, yang selepas mengalami banjir bandang, tak memiliki makanan untuk dimakan, maka dibuatlah makanan seadanya dengan berbagai macam komposisi.

Kemudian digunakan pula untuk mengingat sejarah Nabi Muhammad SAW, ketika usai Perang Badar. Mengingat, ketika itu tidak ada makanan untuk dimakan. Sehingga, dibuatlah makanan seadanya dari berbagai macam komposisi. Pembuatan Bubur Asyura ini mengandung makna saling membantu antara sesama umat muslim, bergotong royong, serta meningkatkan persatuan.

Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan, mengingat budaya Melayu sudah meluntur di antara generasi sekarang. Padahal mestinya, budaya itu selayaknya dipertahankan dan dilestarikan selama itu memberi manfaat. “Semoga generasi mendatang menjaga kebudayaan Melayu, cinta Islam, menghidupkan sejarah Islam,” kata Kalsom Meroh, guru sejarah di sekolah itu.

Siswa Darunsat Wittaya Islamic High School, Thailand, suka cita menyemarakkan tahun baru hijriyah.

Fatimah Mayoni, menuturkan, pentingnya menggelar kegiatan itu, adalah agar generasi sekarang akan tetap mengenal tradisi Ma Al Hijrah. Dengan begitu, maka generasi saat ini pun senantiasa memiliki komitmen untuk melestarikan budaya Melayu di masa-masa mendatang, antara lain mengenakan baju kurung khas Melayu, berbahasa Melayu, dan lain sebagainya.

“Ma Al Hijrah juga bertujuan untuk membumikan kembali budaya Melayu di antara para siswa, agar mereka tahu akan pentingnya pelestarian tradisi baik yang telah berlangsung sejak lama,” jelas Robiyah Samuyama, guru Bahasa Inggris. (Arofatul Ulya)

Comments