Istilah Kiai kampung dimunculkan oleh Gus Dur. Sebuah gelar yang disematkan kepada tokoh agama di kampung atau desa yang masih belum terkontaminasi dengan budaya kota. Tentu memiliki makna tersendiri untuk menyebut ” Kiai Kampung” karena dibalik ketokohannya memiliki kekuatan moral yang dari sisi kehidupannnya menjadi rujukan.
Ada beberapa analisis kenapa menggunakan ” Kiai Kampung ” ? Pertama kampung itu bisa diistilahkan desa lebih kecil lagi dukuh. Jadi secara geografis Kiai Kampung tinggal di pedesaan yang jarang tersentuh dengan budaya metropolis atau kultur kota yang kemewahanya menjadi kecendrungan yang utama.
Lain halnya dengan Kiai Kampung, ia lebih mengedepankan kesederhanaan hidup dan ketawadlu’-an dalam bersikap. Sehingga model Kiai kampung ini bisa dianggap dengan Kiai Tasawuf yang kental dengan kehidupan zuhud, jauuh dari kemewahan duniawi.
Secara kultur, Kiai kampung lebih dekat dengan masyarakat bawah (grassroot) karena hampir setiap harinya berkhidmat kepada masyarakat. Mulai ngajar ngaji anak anak , majlis ta’lim orang tua, mimpin jam’iyah manaqib dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Bahkan mengobati orang sakit juga sering datang ke Kiai Kampung dengan minta air atau jampi jampi tertentu.
Kedua, Kiai Kampung adalah tokoh agama yang menjadi panutan dalam kehidupan. Orang mau pindah rumah, hajatan, bangun rumah semua minta harinya ke Kiai Kampung. Minta doa agar diberikan keberkahan hidup, anaknya supaya soleh dan solehah, perdagangan agar laris sampai yang tersangkut persoalan agar bisa selesai semuanya datang ke Kiai Kampung.
Kehadirannya ditengah tengah masyarakat tanpa ada prosedur yang ketat semacam protokoler. Dengan bahasa lain, sanagat merakyat menyapa masyarakat sekitar. Sehingga masyarakatpun merasakan kehadiran dengan tentram. Tidak pernah menyalahkan dengan bahasa yang kasar atau menyakitkan.
Ketiga, Kiai Kampung tidak mengikuti arena permainan politik baik politik partai atau politik tingkat desa dalam kontestasi Pilkades. Murni semua hidupnya adalah pengabdian untuk masyarakat dan umat tidak untuk kepentingan politik. Kalaupun ada yang didekati oleh calon legislatif atau calon kepala desa, semuanya diterima dengan baik, tanpa membedakan (netral).
Keempat dalam Ubudiyah Kiai Kampung selalu Istiqomah ibadah dan berpegang teguh pada fatwa gurunya (pengasuh pesantren ketika Mondok). Perilaku kesehariannya merupakan cerminan dari kitab tasawuf, mulai Bidayatul Hidayah sampai dengan Kitab Ihya Ulumuddin. Namun tidak jarang Kiai Kampung yang menyembunyikan kitab2 nya. Baru ketahuan memiliki koleksi kitab banyak setelah wafat.
Kelima, Kiai Kampung selalu bergerak teguh pada prinsipnya yang kuat . Dalam hal tauhid misalnya sangat hati hati dalam memberikan pengajian yang bertema tauhid. Begitu juga ketika memberi fatwa hukum yang bersumber dari kitab Fiqih lebih memilih qaul sesuai jumhurul ulama (kesepakatan para ulama).
Dari sekian ciri Kiai kampung di atas, status mereka ada yang termasuk sebagai NU Struktural karena sebagai pengurus NU. Bisa juga disebut NU kultural lantaran amaliah dan tradisinya NU namun tidak menjadi pengurus NU di kampungnya.
Di wilayah Brebes tengah, bila kita telusuri di sudut sudut kampung lebih dari satu orang. Brebes yang terbagi menjadi 17 kecamatan tentu sangat banyak ditemukan Kiai kampung yang telah wafat sekian tahun mendahului kita.
Oleh karena itu sangat penting untuk meneladani para Kiai Kampung yang memiliki ketekunan dan ketulusannya berkhidmat kepada masyarakat. Sebagai langkah untuk meneladani maka perlu menggali jejak kiprah Kiai Kampung khususnya kabupaten Brebes yang tersebar di kampung kampung ( desa )
*) Akhmad Sururi adalah Wakil Ketua LTN PCNU Kabupaten Brebes