
35 tahun tak bersua. Teman yang kini berada di negeri Jiran, tiba-tiba memantik ingatan masa lalu.
“Kenangan tak terlupakan,” tulis kang Hamim memulai ceritanya melalui group whatsapp Alumni SMP Ma’arif Al-Karimi Tebuwung Dukun, Gresik, Jawa Timur sembari silaturahim online di tengah pandemi Corona (Covid – 19).
Bukan kisah sewaktu main atau belajar bersama di sekolah. Tapi sewaktu sama-sama mondok pasanan di Pondok Pesantren Langitan, Widang,Tuban, Jawa Timur.
“Digodak Mbah Yai Faqih nganti nok Deso Selaweh. Jik eling opo ora?” (Dikejar Mbah Yai Faqih hingga ke Desa Selaweh. Masih ingat atau tidak?).
Saya sontak kaget. Tidak ingat mengapa beliau, KH Abdullah Faqih, pengasuh Pondok Pesantren Langitan, mengejar santri hingga desa sebelah perbatasan pondok.
Kala itu Ramadan tahun 1984. “Usai salat tarawih di Gothakan,” lanjut pria hitam manis asal Sumurber Panceng, Gresik, Jawa Timur itu.
Saya benar-benar penasaran ingin mendengar lanjutan kisahnya.
“Kenangan pahit. Masak krliru jupok berase konco sebelah. Aku disidang nok dapur dikiro (men)-curi,” katanya.
Ingatan saya pulih seketika. Waktu itu mondok pasanan bersama keponakan saya, Shohib. Kang Hamim yang sekamar dengan kami terjadwal menanak nasi. Kang Hamim salah ambil beras. Milik teman santri lain, sekamar. Hingga dilakukan “sidang di tempat”, di dapur. Dikira mencuri beras milik santri lain. Apa pasal?
“Mergo pangginane beras dipindah sama Shohib ponakan sampeyan.” (Karena tempat beras dipindah oleh keponakan sampeyan, Shohib).
Beruntung kesalah-pahaman bisa diurai. “Saat itu juga langsung beres. Cuma salah faham saja. Karena waktu itu ketambahan santri baru dan terjadi penggeseran tempat masak. Kebetulan giliran saya yang masak,” pungkas Kang Hamim. (*)
H. Robikin Emhas, Ketua Harian PBNU