Oleh: Achmad Fakhrudin
Lahirnya seorang anak, merupakan sebuah karunia besar bagi kehidupan keluarga; juga sebagai penyambung nasab dan sanad keluarga. Adapun soal jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, bukan persoalan. Yang terpenting adalah keadaan si bayi sehat dan sempurna.
Sayyid Muhammad bin ‘Ali al-Tarimi dalam al-Wasail al-Syafi’ah fi al-Adzkar al-Nafi’ah wa al-Aurad al-Jami’ah, (2000 : 269), menerangkan, rasa suka cita dalam menerima kelahiran seorang bayi, antara lain diwujudkan dengan memperdengarkan azan, iqamah, mendoakannya, serta membacakannya Surat al-Ikhlas dan Surat al-Qadr.
Harapannya, anak yang lahir kelak menjadi anak yang saleh, santun, serta berguna bagi agama dan Negara.
Namun, tanggung jawab orang tua tidak sekadar mendoakannya usai dilahirkan dari rahim ibunya. Akan tetapi juga tanggung jawab merawat dan mendidik. Dan proses belajar itu mesti menjadi aktivitas terus menerus.
Orang jawa sering bilang: ‘’Nggolek ngelmu iku wiwit mudun soko bandulan dumugi mblusuk liang kuburan’’. (Mencari ilmu itu dilakukan sedari turun ayunan hingga meninggal dunia).
Dalam hal mendidik anak, Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salallam sebenarnya telah menyanangkan ‘’kurikulum’’ hebat bagi umatnya. Pada fase usia 0 – 6 tahun, Nabi mengajarkan untuk tidak menekan pelajaran dan pengajaran terhadap anak, karena fase ini anak masih riang dan senang menjkmati dunia bermain.
Dikisahkan, bahwasa Sayyid Hasan dan Sayyid Husain semasa kanak-kanak, saat Rasulullah tengah memimpin rapat serius, kedua cucunya yang masih kecil itu tiba-tiba memeluknya. Rasulullah pun tersenyum sambil memeluk kedua cucunya itu. Jauh dari perasaan merasa terganggu sedikit pun, apalagi marah.
Syiir Ngudi Susilo
Ulama’ merupakan penerus dakwah Rasulullah. Maka, banyak ulama’ yang memiliki pemikiran yang sangat bagus dalam mendidik anak, merujuk kepada apa yang telah diajarkan Sang Nabi.
Pemikiran-pemikiran ulama’ itu, antara lain bisa dilihat dari berbagai kitab seperti Ayyuhal Walad (Imam Ghazali), Tanqih al-Qaul (Syekh Nawawi Al-Bantani), Aqidatul Awam (Syaikh Ahmad Marzuqi Al-Maliki), Adabul ‘Alim wa Al-Muta’alim (KH. Hasyim Asy’ari), dan masih banyak lainnya.
Adapun salah satu kitab yang ringkas terkait bagaimana mengajarkan akhlak kepada anak, bagaimana menjadi orang tua,dan memilih cara yang tepat mendidik anak yaitu Kitab ‘’Syiir Ngudi Susilo’’ karya KH. Bisri Musthofa (Rembang). Kitab ini bisa menjadi referensi para orang tua dalam mengasuh anak usia tujuh tahun ke atas.
Ditulis pada 1954, pendiri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Kabupaten Rembang itu fokus mengulas tentang bagaimana mengajari kepribadian terhadap anak usia tujuh tahun dan seterusnya.
Menariknya dari kitab ini, adalah berbentuk syi’iran dengan huruf pegon, yang sangat ringkas dan praktis untuk diterapkan dalam mendidik anak. Kitab ini berisi delapan pembahasan (bab).
Yaitu bahasan Ambagi Wektu (Membagi Waktu); Ing Pemulangan (Dalam Pembelajaran); Mulih Saking Pemulangan (Pulang dari Pembelajaran); Ana ing Omah (Berada di Rumah); Karo Guru (Bersama Guru); Ana Tamu (Ada Tamu); Sikap lan Lagak (Sikap dan Perilaku); dan Cita-cita Luhur (Cita-cita Mulia).
Kitab ini sangat penting diajarkan kepada anak, karena sangat sesuai di lintas zaman, termasuk di era milenial saat ini. Apalagi syi’ir-syi’ir dalam kitab Ngudi Susilo ini, juga mengajarkan soal tarikh (sejarah). (*)
Achmad Fakhrudin,
Penulis adalah pendidik KB Al-Azhar Jekulo, Kudus. Kader aktif di PAC GP. Ansor Kecamatan Mejobo, Ketua Karang Taruna Karya Abadi Desa Jepang dan pegiat Gubug Literasi Tansaro.