Waketum PBNU Sebut NU-Muhammadiyah Seperti Adik-Kakak yang Mengedepankan Semangat Toleransi

0
169
Waketum PBNU KH. Zulfa Mustofa menjadi pembicara kunci acara silaturahim Nasional pokja Majelis Taklim di Jakarta

JAKARTA,Suaranahdliyin.com – Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah seperti adik dan kakak. Muhammadiyah lahir lebih dahulu (1912), sementara NU lahir belakangan (1926).

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Zulfa Mustofa  mengibaratkan kedua organisasi keagamaan terbesar itu saat menyampaikan Pidato Kunci dalam kegiatan Silaturahmi Nasional Pokja Majelis Taklim bertemakan ‘Majelis Taklim sebagai Basis untuk Membangun Peradaban Umat Manusia’ di Jakarta, Jumat (2/8/2024).

“Kendati demikian,karena jumlah jamaah NU lebih banyak sehingga saya melihat NU dengan sebutan adik bongsornya Muhammadiyah,” ujarnya.

KH. Zulfa berpendapat, NU dan Muhammadiyah berbeda di aspek cabang (furu’), bukan pokok (ushul). Jika demikian, yang perlu dimunculkan adalah semangat toleransi (tasamuh). Sebagai saudara tua, lanjutnya, Muhammadiyah biasanya berpuasa dan berlebaran dulu. NU tidak mempermasalahkannya.

“NU tidak pernah puasa duluan. Muhammadiyah puasa duluan karena di mana-mana kakak itu duluan. Adik itu ngalah. Tarawih juga begitu, kakak pulangnya duluan karena rakaatnya lebih sedikit,” kata Kiai Zulfa disambut tawa hadirin.

Ia lalu menceritakan pengalamannya menjadi penceramah di masjid Muhammadiyah selama hampir 20 tahun. Disebutkan, pengurus Muhammadiyah sengaja mengundangnya agar jamaah Muhammadiyah mengetahui cara berpikir, berfatwa, beribadah, dan beramaliah ala NU dari kiai NU langsung, bukan dari lainnya.

“Kalau yang diundang dari Muhammadiyah, khawatirnya dia menyesatkan semua yang dilakukan NU. Saya respect (hormat) dengan Muhammadiyah,”ungkap KH. Zulfa.

Ia mengharapkan apa yang dilakukan Muhammadiyah itu mengundang narasumber dari kelompok lain- bisa ditiru oleh ormas atau lembaga lainnya agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara umat Islam.

“Misalnya, dulu orang-orang Madura menganggap Muhammadiyah bukan bagian dari Islam. Namun setelah ada silaturahmi dan silatul afkar, mereka menjadi paham,”imbuhnya.

Hal yang sama juga bisa diterapkan dalam mengkaji suatu kitab. Kiai Zulfa bercerita bahwa gurunya, KH. Sahal Mahfudh, mempersilakannya untuk membaca kitab apa pun, termasuk karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah. “Namun Kiai Sahal berpesan agar ia mengambil yang jernih dan meninggalkan yang tidak jernih dari kitab-kitab yang dikajinya.”tuturnya.

Ia lantas menyoroti pengurus masjid dan majelis taklim yang terkadang memonopoli lembaganya. Mereka mengundang penceramah dari kelompoknya sendiri dan menyampaikan suatu materi, termasuk tentang kelompok lain, berdasarkan perspektifnya sendiri. Menurutnya, hal seperti ini kurang bijaksana dan justru akan menimbulkan kesalahpahaman di antara umat Islam.

“Seharusnya biarkan saja. Penceramah diambil dari kelompok lainnya agar umat menjadi cerdas,” paparnya.

Ia kemudian menyitir perkataan Umar bin Abdul Azis ‘Saya justru tidak senang kalau umat Nabi Muhammad tidak berbeda pendapat.’ Baginya, berbeda pendapat membuka pilihan sehingga umat punya pilihan.

Ia berpandangan, perbedaan pendapat, baik di wilayah cabang (furu’) maupun pokok (ushul), jangan membuat pengurus majelis taklim, masjid, dan dai menjadi tidak rukun. Bagi dia, meski berbeda secara ushul, non-Islam adalah saudara sebangsa dan setanah air.

Kiai Zulfa menyesalkan para dai yang menyampaikan narasi-narasi kebencian terhadap sesama Muslim karena tidak memahami masalah furu’ dan ushul.

“Kita juga tidak boleh membenci orang yang berbeda masalah furu’ karena dia adalah saudara sebangsa, setanah air, dan sesama manusia,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa peradaban manusia berkembang sesuai dengan tantangannya. Allah menciptakan setiap bangsa dengan peradaban dan tantangannya.

“Indonesia adalah negara yang penuh keragaman sehingga tantangan yang dihadapinya juga luar biasa.”tegas dia.

Dari sisi keamanan, imbuhnya, Indonesia adalah negara yang rentan tidak aman karena ada banyak agama, etnis, dan suku. Perbedaan itu mudah dimanfaatkan untuk saling membenci dan memusuhi.

Namun demikian, lanjut KH. Zulfa, Indonesia mampu menjaga keragaman karena ada banyak jembatan sosial di Indonesia yang bisa mengatasi persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan.

“Silaturahim seperti ini memperkuat gerakan menjaga umat. Silaturahim juga membangun peradaban sehingga bumi di mana kita tinggal utuh dan aman,” tegasnya. (rls/adb

Comments