KUDUS, Suaranahdliyin.com – Malam belum begitu larut. Waktu masih menunjukkan sekitar pukul 20.30 WIB. Puluhan orang sudah duduk-duduk di tikar sederhana yang digelar, di tanah, di depan salah satu sudut Balai Budaya Rejosari (BBR) Dawe, Kudus yang disetting menjadi ‘’panggung utama’’.
Tadarus puisi. Puluhan orang dari berbagai komunitas, datang untuk menghadiri gelaran yang dilangsungkan, beberapa waktu lalu itu. Dan malam itu menjadi istimewa, karena tidak hanya para penyair, penulis dan penikmat karya sastra serta pelaku seni.
Namun ada juga KH. Hamdani (ketua Majelis Ulama Indonesia/ MUI Kabupaten Kudus), KH. M. Afif Hanafi (ketua Rabhithah Ma’ahid Al-Islamiyyah/ RMI Kudus), dan juga Romo Lukas Heri Purnawan MSF. Yang hadir di tengah-tengah para peserta.
Menjelang pukul 21.00, para peserta pun mulai menempatkan diri, sementara satu demi satu para peserta yang hadir, membacakan puisi yang telah disiapkan. Namun berbeda dengan KH. Hamdani, KH. Afif dan Romo Lukas yang secara spontan ‘ditodong’ oleh panitia untuk membaca puisi.
Kendati dadakan, namun penampilan mereka sungguh memukau para peserta yang datang. KH. Hamdani dan KH. Afif, misalnya, secara apik membawakan puisi-puisi karya KH. A. Musthofa Bisri (Gus Mus). Sedang Romo Lukas, dengan kepiawaiannya memainkan piano, membacakan puisi karya sastrawan – aktivis Wiji Tukul.
Begitu pun penampilan para peserta tadarus puisi yang datang, malam itu. Antara lain Arif Khilwa dan Aloeth Pati (Pati), Asy’ari Muhammad (Jepara), Asa Jatmiko, Sutrimo Astrada, Ima Yaya, Sugiharto, Shinta Hariyani, Tabita Natasya, hingga suguhan menarik Sang Swara.
‘’Puisi, ini seni yang indah. Luar biasa. Melalui puisi, kita bisa mengekspresikan tentang suatu keindahan dan beragam kekayaan lain yang ada dalam kehidupan,’’ ujar KH. M. Afif dalam sesi diskusi.
KH. Hamdani pun mengapresiasi gelaran tadarus puisi tersebut. ‘’Saya sangat mengapresiasi tadarus puisi yang mengusung tema semesta cinta ini,’’ katanya.
Ketua MUI Kabupaten Kudus tersebut pun menjelaskan, bahwa al-Quran sangat memuliakan estetika (nilai keindahan). ‘’Umat Islam diajak untuk memiliki estetika yang tinggi. Ketika manusia tidak lagi punya estetika, maka tidak akan memiliki kasih kepada yang lain,’’ ungkapnya.
Sedang Romo Lukas menilai, gelaran tadarus puisi sangat mengesankan. Baginya, membenahi budaya itu sangat penting dengan menghadirkan kearifan lokal. ‘’Kearifan lokal bisa diangkat menjadi sarana untuk memuliakan Tuhan,’’ ujarnya. (rid, mail, lam, gie, luh/ adb, ros)