Ruwatan Nasional di Alor: Meriah, Khidmat

0
833
Kolaborasi apik seniman – budayawan dalam Ruwatan Nusantara di Alor

ALOR, Suaranahdliyin.com – Pagelaran Budaya Ruwatan Nusantara di Alor, sukses digelar. Pertunjukan kolaborasi orkestrasi antara wayang, musik, puisi dan teater yang dimainkan para seniman dengan Dalang Ki Sujiwo Tejo begitu dramatis sekaligus mistis.

Dramatis karena berhasil melibatkan masyarakat untuk turut terlibat menjadi bagian dari pertunjukan. Mistis, karena enerji kebudayaan yang dibangun rombongan Daulat Budaya Nusantara mampu menggetarkan alam.

“Saya langsung merasa wow, pas sasando yang dimainkan Vivian Tjung mengiringi syair pusinya Bara Patyyraja, ditambah dengan gerak teatrikal dari Zaeni Mohammad, baru kali ini saya ikut wayangannya Mbah Tejo berkolaborasi sama seni yang lain,” ujar Angela, pesinden asal Surabaya.

Secara konsep, Ruwatan Nusantara yang digelar di sembilan titik lokasi di Indonesia memang “disesuaikan” dengan “alam adat budaya Nusantara” masing masing lokasi. Itu sebagaimana digelar di Kediri (Jawa Timur) dan di Jepara (Jawa Tengah).

Kendati sama sama dilengkapi gamelan pelog dan slendro, namun dalam pagelarannya Ki Sujiwo Tejo tetap penuh improvisasi. Di Jepara, mantra ruwatannya Mbah Tejo menjadi daya ungkit penonton untuk bersholawat. Demikian juga di Purwakarta (Jawa Barat), sang dalang juga penuh kejutan, dengan tampilnya dalang wayang kulit dan wayang golek bersama dengan para seniman tanah Pasundan yang merespons pagelaran Wayang Kulit dan Wayang Golek.

Di Pulau Alor NTT, sesuai konsep awal, dan untuk merespons alam adat budaya di Alor, Ki Sujiwo Tejo memainkan Lakon Tara Miti Tomi Nuku, legenda setempat yang masih hidup di tengah masyarakat Alor.

“Sa merinding, haru, merasakan penjiwaan saudara-saudara seniman berekpresi sampai dengan mengibarkan bendera merah putih dalam drama teaterikal yang begitu dalam, sampai sampai Sa masuk alam transenden, syair-syair yang Sa bawakan mengalir deras merespons kekuatan spiritual pagelaran budaya ini,” ungkap Bara Patyyraja, penyair dari Adonara.

Gegap gempita Ruwatan Nusantara di Lapangan kalabahi dirasakan para seniman dan seluruh masyarakat yang hadir. Apalagi, itu adalah pagelaran budaya level nasional yang pertama kali digelar di Pulau Alor, ditambah lagi kepiawaian Mbah Tejo mengajak warga yang menonton terlibat dalam pertunjukan, menari bersama diiringi musik tradisional adat Alor.

“Keren banget dan Sa merasa terhormat diajak kolaborasi sama Mbah Tejo. Ini pertama kalinya Sa pertunjukan di Alor. Sa su keliling main sasando di kota kota di NTT, dan biasanya Sa main sasando itu pertujukan solo. Ini di Alor kolaborasi sama seniman NTT bareng Mbah Tejo, rasanya beda banget main sasando iring iringan gamelan, apalagi semalam suntuk sekitar delapan jam di panggung,” ujar Vivian Tjung dari Kupang.

Tidak hanya Vivian Tjung yang pertama kali kolaborasi lintas kesenian, pengakuan serupa juga dating dari para seniman yang lain. Mereka merasakan enerji tidak ada habis habisnya, juga merasa penuh dengan ide dan improvisasi dalam berkesenian dalam Ruwatan Nusantara.

“Seni itu kan soal rasa, malam ini tanpa batas, seperti melepaskan hasrat yang waktu dan tempatnya pas. Semesta mendukung. Ndak terasa larut dan ikut terharu sampai mata saya berkaca kaca menitikka air mata kabahagiaan. Kali ini puncak penetrasinya dapet,” ujar Zaeni Mohammad, aktor teater dari Lombok.

Sujiwo Tejo tidak hanya ditemani oleh seniman seniman dari NTT, ia juga melibatkan komponis dan composer mudik etnik dari Yogyakarta untuk mengharmonisasi bunyi bunyi yang terekam dalam tradisi adat masyarakat NTT, khususnya Pulau Alor.

“Wangun iki Mas (keren ini Mas), Mbah Tejo nantang saya bikin ritmik dari nada dasar musik Alor, lumayan lah nambah referensi khasanah musik saya. Ternyata spektrumnya luas, opo maneh saya suka miring miring kemejes (ala ala Jazz) ngiringi puisinya Mas Bara Pattyraja,” terang Madha Soentoro, composer musik etnik asal Yogyakarta.

“Seneng buanget saya, dan yang paling bahagia kayae Mas Madha, kemejesnya tersalurkan malam ini ngiringi penonton yang jamming puisi sama Mbah Tejo. Wahhh..tenan sampek Mbah Tejo bilang baru kali ini battle puisi bareng seniman dan penonto,,” tambah Merlis To, komponis yang dijuluki Sujiwo Tejo sebagai professor musik.

Dari rangkaian Ruwatan Nusantara yang digelar rombongan Daulat Budaya Nusantara selalu melibatkan banyak warga lokal, baik sebagai bagian dari kepanitiaan maupun sebagai seniman yang tampil dalam pagelaran budaya. Spirit lokal mandiri dan lestari ini memang menjadi ruh dari rombongan Daulat Budaya Nusantara.

“Kita ini tim kecil dengan skala pagelaran besar. Maksudnya, tim dari luar lokasi pagelaran dibuat efektif dan efisiien, yang diperbanyak adalah tim dari warga lokal, in bentuk dari sama sama belajar, tranformasi tata kelola pertunjukan seni. Kami pengen meninggalkan dampak yang baik, dampak yang berupan pengetahuan dan pengalaman untuk warga lokal,” terang Anggoro, manajer Daulat Budaya Nusantara.

Pementasan wayang kulit oleh Ki Sujiwo Tejo yang memukau

Di akui atau tidak, Daulat Budaya Nusantara, adalah ikhtiar menjahit simpul simpul kebudayaan di Indonesia, sehingga sampai dengan titik ke empat dari sembilan titik yang direncanakan digelar Ruwatan Nusantara, sudah tumbuh secara alamiah jejaring kerja kebudayaan Nusantara yang isinya masyarakat adat, seniman lokal dan para peneliti kebudayaan.

Sebuah gerakan yang tumbuh dari akar rumput, dengan tujuan sebagai pondasi pertahanan bangsa, itu cocok dengan postulat yang disampaikan Teguh Haryono, Doktor Ilmu Pertahanan dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia.

“Di setiap pidato selalu saya sampaikan, bahwa pertahanan terbaik bangsa Indonesia adalah kebudayaan. Kita memiliki akar kebudayaan yang kuat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke” tegas Teguh Haryono, inisiator Gerakan Daulat Budaya Nusantara. (rls/ ros, rid, adb)

Comments