Oleh: KH. Sofiyan Hadi Lc. MA.
Ramadan adalah momentum memperbanyak tabungan amal sholih, karena pada bulan mulia ini nilai ibadah dilipatgandakan pahalanya. Ada banyak ragam ibadah yang bisa kita lakukan, seperti qiyamul lail, tilawah al-Quran, dan ibadah sunnah lainnya. Namun ada jenis ibadah yang sangat dianjurkan kala Ramadan; bersedekah.
Ibnu Abbas RA menceritakan tentang kedermawan Rasulullah SAW saat Ramadan: “Rasulullah adalah orang yang paling dermawan. Beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan; saat Baginda Nabi bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan al-Quran. Dan kedermawanan Rasulullah melebihi angin yang berhembus.” (HR. Bukhari, No. 6)
Dalam hal meneladani Rasulullah, salafush sholih adalah orang yang paling terdepan. Oleh karenanya, kita dapati riwayat-riwayat yang menjelaskan kedermawanan mereka di bulan bulan penuh rahmat. Seperti halnya Ibnu Umar RA, beliau tidaklah berbuka kecuali memanggil anak-anak yatim dan orang-orang miskin untuk berbuka bersama.
Abu Suwar Al ‘Adi menceritakan, “Orang-orang dari Bani ‘Adi biasa sholat di masjid ini. Mereka tidak pernah berbuka sendirian. Bila ada orang yang bisa diajak berbuka di rumah, mereka baru makan. Bila tidak ada, maka mereka keluarkan hidangan makanan ke Masjid, hingga para jamaahpun berbuka bersamanya.”
Memberi makan buka orang yang puasa, adalah amalan yang tak ringan pahalanya. Nabi bersabda: “Barangsiapa memberi makan buka orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala orang yang puasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.” (HR. Tirmidzi).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita bisa meneladani Rasulullah dan para salafush sholih dalam hal kedermawanan itu? Jawabannya mirip iklan komersial dari sebuah bank: ”Tingkatkan terus saldo tabungan Anda.”
Ya, ini memang ibadah maliyah (harta). Untuk dapat melaksanakannya, kita harus punya kelebihan harta: Faqidusy syai’ la yu’tihi (orang yang tidak punya tidak bisa memberi). Maka siapa saja orang Islam yang bersungguh-sungguh ingin mengamalkan seluruh perintah agama, haruslah menjadi orang kaya. Minimal berkecukupan. Betapa, tidak. Perintah zakat, haji, umroh, infak, sedekah, wakaf dan lain sebagainya membutuhkan harta.
Di sinilah urgensinya menjadi Muslimpreneur, istilah yang mengacu kepada orang Islam yang berwirausaha. Dan Rasulullah adalah teladan terbaik dalam hal ini. Beliau baru berusia 12 tahun ketika pergi ke Syria berdagang bersama pamannya. Usia 17 tahun, sudah tumbuh sebagai wirausahawan yang mandiri.
Kejujuran (shidiq), kesetiaan memegang janji (amanah), komunikatif dan transparan (tabligh), serta kecerdasan (fathanah) menjadi modal utamanya. Terbukti, dengan sifat-sifat demikianlah, maka terjalin kemitraan dengan para investor di Kota Makkah berdasarkan sistem bagi hasil (profit sharing).
Jelas bahwa Nabi telah membina dirinya menjadi seorang pedagang profesional, yang memiliki reputasi dan integritas luar biasa. Ini pula yang menarik perhatian investor kaya, Khadijah, untuk menjadikannya sebagai mitra dagang dan selanjutnya menjadi pasangan hidup.
Berapa jumlah mas kawinnya? 20 ekor unta. Ditambah perhiasan emas dan pakaian yang mahal. Bayangkan, pemuda 25 tahun itu telah menunjukkan kelasnya sebagai pengusaha sukses dan kaya raya.
Setelah menikah dengan Khadijah, Nabi tetap melanjutkan usaha perdagangannya seperti biasa, namun Nabi bertindak sebagai manager sekaligus mitra dalam usaha istrinya. Sejak perkawinannya hingga datangnya panggilan tugas kenabian, Nabi telah melakukan perjalanan dagang ke berbagai daerah di semenanjung Arab dan negeri-negeri perbatasan Yaman, Bahrain, Irak dan Syria.
Jika kita hitung, tak kurang dari 25 tahun lamanya Nabi berkiprah di bidang bisnis dan perdagangan (usia 12-37). Rentang waktu yang lebih lama dibanding tugas beliau menyampaikan risalah kenabian yang hanya 23 tahun (usia 40-63)
Maka tak heran ketika nabi ditanya tentang usaha yang paling utama, beliau menjawab ”Jual beli yang baik dan usaha seseorang dengan tangannya sendiri” (HR. Ahmad). Nabi juga bersabda: “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah” (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan bahasa simbolik ini, Nabi memotivasi umatnya untuk menjadi pengusaha yang gemar berbagi.
Mari kita praktikkan Sunnah Nabi, menjadi Muslimpreneur yang dermawan. Dan jangan lupa, Ramadan adalah bulan berbagi. Berapa banyak zakat mal yang akan Anda keluarkan pada Ramadan ini? Semoga Allah SWT. memberikan keberkahan, sehingga tahun depan jumlahnya jauh lebih banyak.
Jadi, kapan Anda mengundang anak-anak yatim dan fakir miskin untuk berbuka puasa bersama? (*)
KH. Sofiyan Hadi Lc. MA.
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pendiri Pesantren Entrepreneur Al-Mawaddah, Kudus dan kandidat Doktor pada UIN Walisongo Semarang.