- Dari Gelaran Indonesia Mengaji di UIN Sunan Ampel (Bagian 2 – Habis)
SURABAYA, Suaranahdliyin.com – KH. A. Musthofa Bisri memang sosok yang menarik. Cara Gus Mus –sapaan akrabnya- dalam memandang Indonesia, juga sangat unik dan istimewa. Dengan santai, Gus Mus memaparkan dengan guyonan ala santri.
Coba tengok, banyak gambar di belakang truk bertuliskan “Iseh Enak Jamanku Tho”. Kata yang singkat, namun penuh makna. Itu adalah ungkapan Pak Harto. Beberapa arti yang dimaksudkan, adalah ‘proses’. Sejenak bernostalgia, ia pun mengilustrasiikan tentang lucunya Indonesia kini dan bedanya Indonesia zaman dulu.
‘’Apakah kita berproses? Kita dapat merasakan gelar sarjana, profesor, hakim, bahkan gus. Tetapi urusan yang kecil saja terkadang tersisihkan, terbengkalai. Apakah kita sudah di jalan proses yang benar? Jawabanya ada pada diri masing-masing,’’ tuturnya dalam Indonesia Mengaji di UIN Sunan Ampel, Surabaya pada Senin (5/3/2018) malam.
Gus Mus mengemukakan, terkadang untuk memahami sesuatu, tidak harus repot. ‘’Solusinya adalah ‘Ilmu Malaka’,’’ ujarnya.
Apapun yang dilakukan seseorang, terkadang sesuai rasa, tanpa adanya kesulitan pemahaman. Lantas, apakah rasa bisa disalahkan? Tentu tidak bisa. Karena setiap jiwa memiliki rasa.
‘’Malaka merupakan rasa yang otomatis hadir dalam diri manusia. Ibaratkan ngaji: Jaa a zaidun, dibacanya benar, walau beberapa orang tidak mengetahui kaidahnya atau bahkan tidak tahu sama sekali,’’ jelasnya. ‘’Jawaban variasi yang pas adalah Malaka: penting enak di dengar dan enak dirasa. Tetap dibenarkan walau tanpa kaidah, walau tidak mengetahuinya,’’ katanya.
Indonesia terkenalnya orang-orang ramah. Saking ramahnya, mereka berbuat hal-hal yang berbeda dan bisa menggemparkan sampai ke penjuru pelosok. Jika terdapat hal berbeda, sepatutnya kita menghargai dan menelaah: dari perbedaan akan muncul persamaan. Jangan malah maju memupuk permasalahan.
Terkait tema Indonesia Mengaji yang diangkat, menurut Gus Mus, siapa yang beragama harus ngaji. Siapa yang ingin dunia harus ngaji. Siapa yang ingin akhirat harus ngaji. Siapa yang ingin dunia dan akhirat, harus ngaji.
‘’Di atas langit masih ada langit. Di bawah kebodohan masih ada yang lebih bodoh. Jadi, dimana pun dan kapan pun, tetaplah dalam nilai-nilai kebenaran, kebaikan, bersungguh-sungguh dalam mempertimbangkan segala hal,’’ tegasnya.
Dia menuturkan, Indonesia sangat berjasa bagi setiap jiwa, bukan hanya belajar, tapi juga mengajar. Mengajar bisa dilakukan siapa saja, dengan tingkat kemampuan berbeda. Maka mengajarlah dengan keikhlasan.
‘’Setiap yang belajar dan mengajar, haruslah bisa saling menghormati. Maka ia pasti akan dihormati pula. Menghormati bisa dimaknai tidak bersikap diskriminatif kepada siapapun. Semangatnya, Indonesia dari kita, untuk kita, bagi kita sebagai rahmatan lil alamin,’’ tandasnya.
Dia bagian akhir dari tausiyahnya di UIN Sunan Ampel itu, Gus Mus berpesan agar setiap orang sadar dengan adanya hati, untuk menuai keharmonisan bersama, menjaga dan menjunjung tinggi toleransi, menanamkan nilai pendidikan, bersikap baik dengan budi pekerti, serta sepatutnya mengedepankan perilaku akhlaqul karimah. (hamid/ ros)