JAKARTA, Suaranahdliyin.com – Indonesia kaya akan perbedaan. Ada lebih dari 700 suku, tak kurang dari 600 bahasa lokal, pun agama juga bermacam-macam. Perbedaan itu semua tidak menjadikan Indonesia berpisah, justru semakin erat persatuannya.
Ketua Pengurus Pusat Rabithah Maahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMI-NU), KH. Abdul Ghafarrozin (Gus Rozin), mengutarakan hal itu dalam seminar bertajuk “Peta Jalan Islam Wasthiyah untuk Islam Indonesia dan Dunia: Kontribusi Pesantren”.
Dalam seminar yang digelar di Lantai VIII Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Senin (19/8/2019) itu, Gus Rozin menyampaikan, bahwa hal itu menjadi inspirasi para pemimpin dunia saat mengunjungi negeri zamrud khatulistiwa ini.
“Kami di RMI meyakini bahwa bukan tidak mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi menjadi Islam yang rujukan di berbagai dunia,” katanya di hadapan tak kurang dari 200 200 pengasuh pesantren dari Banten.
Dalam pandangannya, penting untuk menggarisbawahi pembicaraan Islam Wasthiyah, Islam moderat, Islam toleran di negeri ini. Pasalnya, sampai saat ini, masyarakat luar negeri mensyukuri dan mengagumi Islam yang diajarkan dan dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia.
Gus Rozin juga menyampaikan bahwa belakangan ini lahir Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Kelahiran kampus tersebut juga, katanya, pasti dilandasi dari modal besar Indonesia sebagai rujukan Islam dunia.
Kebesaran modal Islam Indonesia sebagai rujukan Islam dunia tentu saja tidak terlepas dari wajah Islam mayoritas Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dengan pesantren sebagai pusatnya.
Pesantren, paparnya, merupakan lembaga pendidikan tertua, yang memiliki modal kekuatan dan kelebihan dalam berkontribusi pada dunia. “Pesantren memiliki beberapa kekuatan kelebihan yang saya kira bisa klik,” ungkapnya.
Ditambahkannya, bahwa pesantren merupakan pusat literasi turats. Ada banyak ulama pesantren yang melahirkan beragam karya. Sebut saja Syekh Nawawi al-Bantani dengan karya-karyanya lintas fan ilmu, Syekh Ihsan al-Jampesi Kediri. Belum lagi ada kiai yang membahas secara rinci mengenai hukum hewan-hewan laut dalam kitabnya yang berjudul ‘Aisyul Bahri.
Selain itu, katanya, pesantren memiliki kekuatan pendidikan karakternya yang kuat mengingat 24 jam penuh mereka bersentuhan dengan kiainya. “Pola pendidikan pesantren 24 jam dengan musyrif dan murabbi, kiainya itu pola terkuat (dari) pendidikan karakter,” terangnya.
Maka tak heran, jelasnya, jika para santri mengikuti tindak-tanduk kiainya dalam berbagai macam hal, termasuk pilihan politik. “Karena proses karakterisasi ditentukan kiai juga maka para muridnya mengikuti para kiai,” katanya. (rls/ adb, ros)