Dilema Hegemoni Politik Uang

0
2557

Oleh: Arofatul Ulya

Besok, warga Kabupaten Kudus akan menyalurkan hal pilihnya dalam pemungutan suara Pemilihan Bupati (Pilbup). Hal sama juga dilakukan warga dari ratusan daerah yang ada di Indonesia, yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Dalam setiap Pilkada, ada satu hal yang selalu menjadi ‘’slilit demokrasi’’, yaitu politik uang. Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum (Radian Syam, 2016).

Sungguh ironis, manakala hampir seluruh calon pejabat yang bertarung dalam kontestasi Pilkada, menggunakan politik uang sebagai cara untuk memperbanyak dukungan dan meraup suara.

Karena semestinya, partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, merupakan salah satu faktor penting penanda keberhasilan demokrasi. Juga, pertimbangan peralihan mekanisme pilkada dari dipilih oleh DPRD menjadi Pilkada langsung adalah untuk memangkas praktik politik uang.

Namun fakta di lapangan menunjukkan, praktik politik uang tetap berlangsung meski dengan ongkos yang makin mahal, karena melibatkan pemilih dalam satu daerah pemilihan (Fitriyah, 2014).

Pemerintah telah merespons praktik yang merugikan rakyat tersebut dengan mengeluarkan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU, yang dalam Pasal 73 ayat (1) ditegaskan, bahwa Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/ atau Pemilih (Radian Syam, 2016)

Dengan kata lain, politik uang merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Sebab, uang digunakan sebagai instrumen membeli dukungan politik, melawan sistem penilaian yang obyektif – rasional, yang pada akhirnya melahirkan kebijakan kebijakan yang korup.

Praktik politik uang juga bisa membuat figur yang berintegritas dan berpengalaman untuk menjadi pemimpin, terganjal untuk maju karena keterbatasan dukungan dana. Selain itu, praktik politik uang membuat negara ini seolah berdiri tanpa aturan hukum yang harus ditaati.

‘’Serangan fajar’’ oleh tim calon yang ‘’akan dilunasi’’ ketika si calon menjabat, besar kemungkinan uang yang digunakan untuk melunasi adalah hasil korupsi. Jika sudah seperti itu, akan hilanglah kepercayaan (trust) masyarakat kepada para pejabat.

Maka masyarakat mesti semakin sadar akan bahaya dari praktik politik uang saat Pilkada dan dalam suksesi kepemimpinan lain yang berlangsung. Dan menyadari pula, bahwa terlibat dalam praktik politik uang sama saja merendahkan harga diri. Apakah kita mau, harga diri kita disejajarkan dengan uang yang tak seberapa itu? (*)

Arofatul Ulya,

Penulis adalah alumnus MA. NU. Muallimat Kudus, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (Prodi PBI) di Universitas Muria Kudus (UMK) dan Duta Pilkada Kudus 2018.

 

Comments