SEMARANG, Suaranahdliyin.com – Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) PWNU Jawa Tengah berkomitmen menggencarkan pemahaman Islam ramah lingkungan kepada masyarakat.
Winarti, Ketua LPBI PWNU Jateng, mengatakan, Islam memerintahkan kepada umatnya untuk sensitif, sadar dan ramah terhadap lingkungan dan sosial sebagai perwujudan khalifah, yang memperhatikan kemaslahatan dan kemakmuran bumi.
“Sebagai salah satu lembaga yang mendapat amanah dalam isu kemanusian, bencana dan lingkungan dari PWNU Jawa Tengah, kami berkewajiban mengusung pemahaman Islam yang ramah lingkungan khususnya di provinsi ini,” ujarnya, Kamis (11/7/2019).
Menurut Winarti, wilayah Jawa Tengah memiliki banyak jenis potensi bencana, baik terkait aktivitas manusia seperti banjir, kebakaran, maupun polusi. Termasuk aktivitas alam seperti gunung berapi, tsunami, tanah longsor, hingga gempa.
“Pada sisi lain, Islam mengenal pembahasan kesalehan yang berorentasi ke pemikiran keagamaan, yang memiliki nilai praksis dan keberpihakan pada pembangunan sosial lingkungan berkelanjutan,” paparnya.
Pada Rabu (10/7/2019) malam lalu, misalnya, LPBI bersama CARE CAFE menyelenggarakan diskusi sambil ngopi sore di Semarang, dengan mengusung tema “Kearifan Lokal: Antara Kesalehan Ritual, Sosial dan Lingkungan”.
Aktifis lingkungan, Muzzayinul Arif, berharap LPBI PWNU Jawa Tengah terus berupaya memasukkan isu-isu lingkungan ke dalam berbagai kegiatan keagamaan, hingga ke pelosok desa yang paling jauh dari pusat keramaian.
“Misalnya dalam acara kenduri, syukuran, tahlilan dan kegiatan sejenisnya. Kegiatan-kegiatan ini menjadi sarana tidak saja memupuk pemahaman Islam rahmat bagi sekalian alam, juga meningkatkan ikatan (kohesi) sosial yang ada. Sehingga solidaritas kemanusiaan dan lingkungan tecermin dalam perilaku masyarakat,” jelasnya.
Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang intens dalam persoalan sanitasi air dan kelestarian lingkungan, Rudatin Windraswara, memaparkan, praktik-praktik kearifan lokal yang ada di sekitar Jawa Tengah dan Indonesia, tersirat ada upaya-upaya pemuliaan lingkungan dan sosial.
“Salah satu contoh aktual di Jawa Tengah, yaitu kegiatan adat terkait sumber air yang tersebar di berbagai wilayah. Contoh lain, bagaimana kearifan menjaga wilayah hulu yang biasanya masih berupa lahan dengan vegetasi lebat dianggap sakral, dan secara tersirat juga sebagai konservasi daerah tangkapan sumber air,” paparnya.
Bagi Rudatin Windraswara, semua itu adalah bentuk kearifan lokal yang harus dibingkai dengan konteks kekinian. “Sebab, ternyata itu mengandung arti sebagai bentuk kesalehan ritual, sosial dan sekaligus lingkungan,” tuturnya. (mhet/ ros, adb)