Dewasa ini, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa spiritualitas adalah praktek yang didasarkan pada kepercayaan bahwa jika jiwa-jiwa yang telah meninggal masih bisa mengadakan hubungan dengan jasad. Hubungan ini umumnya dilaksanakan melalui seorang medium yang masih hidup. Ada keterlibatan emosional yang kuat, baik pada penolakan maupun penerimaan terhadap spiritualisme membuat sulitnya suatu uraian imparsial untuk membuktikannya.
Spiritualisme mempunyai fungsi untuk mendorong gerak sejarah ke depan dan pada saat yang sama membuat hidup lebih seimbang. bagi masyarakat awam, peranan spiritualitas di masa-masa mendatang memposisikan Islam tidak sekedar sebagai etika agama melainkan juga sebagai ajaran etika mendampingi proses modernisasi dan sekularisasi. Dari hal itu membuktikan bahwa antusiasme masyarakat dalam mengimani spiritualitas masih sangat tinggi. Lalu pertanyaannya, bagaimana spiritualisme yang benar menurut Islam seperti yang telah dikokohkan oleh para Sufi dari masa ke masa sejak zaman Nabi Muhammad SAW?
Sebelum menjawabnya, mari kita jenguk keadaan umat Islam mulai dari seperempat abad terakhir. Diakui atau tidak, kita telah mengalami shock luar biasa antara tradisi, modernisasi, serta nilai-nilai agama. Hasilnya adalah, umat Islam sekarang seolah dipermainkan oleh kaum minoritas dari segala aspek kehidupan. Mulai dari peradaban dan kebudayaan yang dihilangkan, akidah yang di dangkalkan, bahkan pakaian yang terus ditelanjangi.
Hal ini tentu berdampak besar pada spiritualisme umat Islam. Memanfaatkan ketidakberdayaan umat, lembaga-lembaga atau tokoh yang menjanjikan puncak spiritual mulai bermunculan. Kendati nyatanya yang mereka lakukan tak lebih dari aktivitas metafisika dan keparanormalan semata. Lebih tragis lagi aktivitas tersebut dibungkus dengan nuansa dzikir atau ilmu-ilmu hikmah tertentu. Tak berhenti di situ, menggunakan sinkretisme kebatinan semua agama dalam satu format spiritual juga kadang mereka lakukan. Memutilasi kebenaran demi kebenaran dan menggabungkannya menjadi pemahaman yang diinginkan demi kepentingan duniawi. Alhasil perpecahan yang timbul dalam internal umat pun semakin memperkeruh keadaan. Di satu sisi ada kelompok yang mengobarkan semangat anti spiritual dan sufisme karena dianggap bid’ah. Di sisi lain penyelewengan demi penyelewengan terus terjadi.
Jika mengutip pendapat dari Ibn ‘Arabi, spiritualitas sejatinya adalah pengerahan segenap potensi rohaniah dalam diri manusia yang harus tunduk pada ketentuan syar’i dalam melihat segala macam bentuk realitas baik dalam dunia empiris maupun dalam dunia kebatinan. Dari Sini Jelas bisa disimpulkan, bahwa menjalani spiritualisme tidak semudah membalikkan telapak tangan atau mengedipkan mata. Kesinkronan wadah batin dan aspek empiris harus terjalin dengan sangat hati-hati dan mawas diri. Dalam Islam Pun sudah ditegaskan tentang pentingnya seorang Guru spiritual yang mu’tabarah.
Jadi sudah seyogyanya para alim ulama turut andil menjaga kehakikian spiritualitas Islam. Tidak hanya berhenti pada dakwah di tatanan syariat serta hukum halal haram saja yang pada dampaknya memberi ruang pada penyeleweng spiritual karena jarangnya pembahasan disana. Edukasi dengan memanfaatkan kemudahan era digital adalah nilai plus agar kebenaran mudah disebarluaskan. Dari sisi umat, mereka juga harus lebih berhati-hati dalam mencari dan memilih seorang pembimbing. Konsep latar belakang, sanad nasab, serta sanad keilmuan juga harus ditinjau dengan teliti.
Amirur Rijal,
Adalah penulis yang lahir di Blitar pada 14 September 1997. Santri dari PP Mangunsari Al Fattah dan alumnus UIN SATU, Tulungagung.
Catatan: Artikel ini dipublikasikan untuk kepentingan lomba, sehingga tidak dilakukan proses editing oleh pihak redaksi.