Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Misi profetik senantiasa akan berjalan seiring dengan tuntutan zaman, yang dalam istilah al-Quran (QS. 14: 4) disebut “Lisanul Qaum (bahasa kaumnya/ trending topic)”. Begitulah saya meminjam ungkapan yang sangat imperatif dari Prof Yudian Wahyudi.
Jika kita merunut sejarah kerasulan, terasa tepat sekali istilah itu. Kita ringkas dari sejarah Rasulullah Musa Alaihissalam. Beliau menghadapi kaum Yahudi yang berbahasa Ibrani dan raja Fir’aun yang gandrung sihir. Maka kitab Taurat berbahasa Ibrani dan Nabi Musa mampu menaklukkan tukang sihirnya Fir’aun, tanpa pertumpahan darah. Pantas, banyak orang Yahudi dan si tukang sihir mengikuti agama beliau. (QS. 7: 121-122)
Kemudian Rasulullah Isa Alaihissalam. Umatnya berbahasa Aramaik, sempalan bahasa Ibrani dan menghadapi umat yang gandrung ilmu kedokteran dan raja Pontius Pilatus yang lagi menjajah tanah Yudea. Maka kitab Injil berbahasa Aramaik Ibrani dan Nabi Isa pandai menghidupkan orang mati (QS. 5: 110). Maka wajar jika banyak orang menjadi pengikutnya.
Datang Nabi Agung Muhammad. Umat Baginda Nabi Muhammad berbahasa Arab dan gandrung retorika, puisi, prosa dan mulai lahirnya sainstek. Maka al-Quran berbahasa Arab yang mengalahkan semua kepiawaian bangsa Arab. Dalam al-Quran juga bertebaran isyarah-isyarah sainteks, yang kemudian menjadi kenyataan di hari ini.
Adapun misi profetik yang terjadi di Indonesia, lahirlah lembaga pesantren sebagai penerus misi itu. Trending topiknya waktu itu adalah kuasa seni budaya dan luhurnya etika. Maka para wali penyebar Islam-pun mengislamkan seni budaya dan menyempurnakan akhlak yang menjadi adiluhung.
Lalu zaman kolonial trending topik bangsa Indonesia adalah kepahlawanan menentang penjajah. Maka hampir semua pesantren dalam melanjutkan misi profetiknya menjadi basis perlawanan terhadap kolonial. Peran ini diakui oleh sejarahwan kaliber internasional Donald E Smith. Ia mengatakan, para ulama/ skolaristik fiqh Islam memegang peran besar dalam mengenyahkan penjajah dari bumi Indonesia.
Kemudian di zaman now, pesantren menghadapi lisanul qaum berupa dunia sainteks. Maka banyak pesantren yang mendirikan perguruan tinggi. Memang seharusnya lah pesantren melanjutkan misi profetiknya, dibarengi kemajuan saintek yang sophisticated (canggih). Meskipun ia tetap dijalur turats, kitab kuning, tetapi kitab putih pun tak boleh ketinggalan.
Kesulitan yang dihadapi adalah kurangnya SDM multitalenta dan multidisiplin. Di Perguruan Tinggi Islam dan/ al-Quran manapun yang menjadikan Islam/ al-Quran sebagai basis dan ikon, kesulitan ini sangat terasa. Memang SDM sainteks sangat penting, tetapi SDM yang ahli Islam/ al-Quran lebih dibutuhkan lagi.
Akreditasi dengan sembilan standar oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), sungguh merupakan lisanul qaum yang harus ditundukkan, tetapi tak kalah pentingnya akreditasi dengan standar akseptabilitas yang dilakukan oleh masyarakat/ mahasiswa sebagai stakeholder utama.
Survei kecil-kecilan membuktikan, bahwa mahasiswa masuk kuliah di PT keislaman bukan hanya karena prodi unggulan di bidang saintek, yang umumnya telah tersedia di kotanya masing-masing. Juga banyak karena tren dan ekspektansi masyarakat untuk dapat mengintegrasikan agama dengan sainteks, yang menjadi lisanul qaum hari ini.
Sementara SDM yang ahli, khususnya Ulumul Qur’an sebagai basis penggerak perubahan mindset, menurut pengalaman, selama ini tidak banyak didapatkan. Padahal semua kita telah tahu akan sabda Nabi Muhammad, bahwa segala urusan hendaklah diserahkan kepada ahlinya (Bukhari: 57).
Dalam hal sainstek sendiri, kita bisa melihat ke catatan lama di awal 2000-an yang bisa dibandingkan. Yaitu rasio doktor dengan jumlah penduduk. Israel ada 16.000/1.000.000. AS 6.500/1.000.000. Jepang 6.500/1.000.000. Uni Soviet 5000/1.000.000. Perancis 4.500/1.000.000. Belanda 4.500/1.000.000. Inggris 3.200/1.000.000. Jerman 3.000/1.000.000. India 1.300/1.000.000. Mesir 367/1.000.000. Dan Indonesia, 64/1.000.000. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.