Oleh: KH. Mc. Ulinnuha Arwani
Dalam dunia pesantren, sudah sejatinya orang tua menitipkan anaknya (santri) kepada guru (kiai) untuk nantinya dididik dan dibimbing di lingkungan pesantren. Kewajiban mendidik anak sendiri, sebenarnya merupakan kewajiban orang tua untuk menunaikannya.
Hal itu sebagaimana disampaikan Nabi Muhammad SAW, bahwa kewajiban orang tua kepada anaknya adalah bagaimana mendidik anak-anak sebaik mungkin, antara lain dengan mendidik untuk menumbuhkan mahabbah (cinta) kepada Nabi, kepada keluarga Nabi, dan mencintai al-Quran.
Pertama, hubbu rasulillah. Yaitu kewajiban mendidik santri untuk cinta kepada Nabi Muhammad. Ini sulit dilakukan. Mengapa? Karena Rasulullah sudah wafat. Bagaimana bisa mahabbah kepada seseorang jikalau tidak pernah bertemu? Padahal, umumnya munculnya rasa mahabbah (cinta) itu karena sering bertemu. Pepatah jawa mengatakan, “witing tresna jalaran saking kulina”.
Namun guru harus memperhatikan (mendidik) santri agar dalam sanubarinya, muncul rasa mahabbah. Sebab, Rasulullah adalah pembawa risalah untuk umat manusia, yang diutus oleh Allah SWT. Bagaimana ummat menerima syariat Islam jika tidak suka dengan Nabi?
Nah, ini yang harus diinternalisasikan kepada para santri, yaitu menumbuhkan rasa cinta kepada Nabi. Agar apa yang diturunkan Allah kepada Nabi, melalui guru kemudian di-transfer kepada para santri.
Cara yang bisa diterapkan, yaitu dengan sering membaca shalawat, membaca sirah nabawi, membaca al-barzanji dan dziba’, maulid Nabi, dan lain sebagainya. Contoh kecil, ketika selesai membaca al-barzanji, bacakan juga artinya, supaya santri mengetahui maknanya dan paham apa yang dibaca, sehingga menimbulkan rasa cinta kepada Rasul.
Santri memang harus serbabisa, karena arti santri sendiri adalah (biSA dipiNTeRi). Jika sudah tahu, maka berkewajiban untuk menyampaikan, melalui media dakwah (khitabah). Dengan kata lain, sejatinya santri harus melatih dirinya untuk bisa menguasai apapun.
Kedua, hubbi ahlii baitihi. Yakni mencintai keluarga Rasulullah. Pengertian ahli bait (keluarga) ini ada dua, keluarga dekat dan keluarga jauh. Keluarga dekat adalah keluarga satu rumah seperti ibu, ayah, anak, kakek, nenek, menantu, dan mertua.
Sedang saudara jauh, yaitu semua umat Islam adalah saudara. Maka kita diperintahkan untuk memupuk mahabbah kepada keluarga dekat maupun jauh. Tujuannya, agar bisa saling menyintai sesama umat Islam.
Sekarang ini, banyak terjadi perselisihan di antara umat Islam. Beda partai berseteru. Beda organisasi saling mencaci. Menebar kebencian sesama. Dan yang paling ekstrem, yaitu masalah mastna wa tsulasa wa ruba’ (poligami); suami istri saling membenci, padahal mestinya saling menyayangi.
Ketiga, tilawatil Quran. Yaitu mengajari anak membaca (dan memahami kandungan) al-Quran. Kenapa al-Quran? Kenapa Rasulullah tidak menyuruh untuk mempelajari ilmu hukum, ilmu teknik, ilmu ekonomi, dan sebagainya? Karena semua ilmu ada di dalam al-Quran.
Pada hakikatnya, semua ilmu ada (terkandung) di dalam al-Quran, hanya saja banyak orang tidak memahaminya. Padahal ada cara untuk memahaminya: mula-mula membaca al-Quran dengan tartil, memperhatikan tajwidnya, ghunnah, mad, dll, termasuk juga tata cara dan adab membaca al-Quran dan hormat kepada guru. Kemudian tingkatkan dengan memahami kandungan ayat dengan mempelajari ilmu fikih, tauhid, akhlak. Setelah itu tadabbur al-Quran.
Dengan tadabbur al-Quran, akan diketahui apa (makna) yang terkandung dalam al-Quran. Di mana inti dari semua itu adalah menjalankan perintah Allah SWT., baik itu sunnah atau wajib, dan menjauhi larangan Allah baik makruh atau haram. Ini yang disebut dengan takwa.
Ada pahala dari setiap ayat-ayat al-Quran yang kita baca. Setiap hurufnya berpahala 10 kebaikan. Padahal sehari minimal kita membaca surat al-Fatihah sebanyak 17 kali. Janji Allah SWT., ‘’Barang siapa yang mengajarkan al-Quran dan kemudian (murid) belajar dan mengajarkan al-Quran kembali, maka dijamin akan terbebas dari api neraka’’.
Sungguh betapa besar anugerah al-Quran ini. Mari kita semua selalu membaca, memahami, dan senantiasa melakukan tadabbur al-Quran, supaya senantiasa mendapatkan barakah dari al-Qur’an. Allahuma irhamna bil Quran. (*)
*Disarikan dari mauidlah hasanah yang disampaikan KH. Mc. Ulinnuha Arwani dalam silaturrahmi di Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an 1 Pati pada 5 November 2017 oleh Zaki Muttaqien SQ.