Sore hari hingga menjelang maghrib, pada era 1990-an hingga sebelum 2000era -an, adalah waktu yang sangat penting bagi anak-anak untuk internalisai nilai-nilai agama melalui Madrasah Diniyah (Madin). Lantunan nadham-nadham dari beragam kitab yang dikaji, riuh didengungkan dari kelas ke kelas.
Senyum dan tawa riang senantiasa tersungging di bibir para santri yang belajar di Madin yang banyak tersebar di Kabupaten Kudus. Keikhlasan para guru, ustadz atau kiai yang terkadang diselipi dengan guyonan-guyonan ala santri, menjadi salah satu pembeda dengan sekolah formal.
Namun kini, Madin yang sekian lama sebagai ruang dakwah yang efektif bagi anak-anak yang pagi hari sekolah umum, atau untuk mendalami agama bagi mereka yang waktu kecilnya belum banyk mempelajari agama, mulai redup eksistensinya.
Redupnya Madin di tengah masyarakat kini, nampak dari adanya penurunan jumlah lembaga pendidikan agama itu. Pada 2014, Sie Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren), mencatat, ada 292 Madin, dan menjadi 291 Madin pada 2015. Tahun berikutnya (2016), jumlah Madin juga menyusut, yakni menjadi 288 Madin.
Penurunan jumlah Madin ini menjadi penanda, semakin berkurangnya minat anak-anak dan generasi muda saat ini, untuk belajar di Madin.
Kepala Madin Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, KH. Miftahul Anwar, menyebut, menurunnya jumlah santri belajar di Madin, dipengaruhi juga oleh kebijakan pemerintah. “Salah satunya, melalui kurikulum sekolah formal di pagi hari yang kurang berpihak pada keberadaan Madin,” tuturnya.
Secara tegas KH. Miftahul Anwar bahkan meyakini, bahwa kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah formal, tidak akan mampu memberikan pemahaman secara luas dan mendalam kepada anak-anak.
“Pendidikan agama di sekolah formal itu tidak seberapa banyak, terus kompetensi guru pendidikan agama, secara kualifikasi, juga banyak yang belum mumpuni benar. Belum lagi soal keikhlasan. Dalam pendidikan agama, keikhlasan ini sangat penting, dan ini yang memiliki adalah guru-guru Madin,” katanya.
Kendati begitu, Yi Miftah –demikian KH. Miftahul Anwar biasa disapa- optimistis, bahwa Madin akan tetap terjaga dan tidak punah, karena Madin memiliki guru-guru yang mencari ridla Allah. Orang-orang yang sadar ke mana dirinya setelah mati, ungkapnya, akan tetap berjuang mempertahankan Madin.
“Orang yang ingat mati, pasti akan tetap ngganduli Madin. Jika tidak ada yang mumpuni dalam bidang ilmu agama, siapa yang mendoakan orang mati? Khan tidak mungkin orang mati kita kasih ponsel terus diminta untuk mendengarkan sendiri,” lanjutnya dengan nada canda.
Kepala Madin Tasywiqul Qur’an, Mohammad Sahlan, mengatakan, Madin sangat dibutuhkan, karena banyak nilai-nilai karakter dan kebangsaan ditanamkan melalui lembaga pendidikan agama ini.
“Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan terjaga jika pemahaman keagamaan generasi penerus bangsa ini mapan. Generasi muda yang tidak mapan pendidikan agamanya, akan mudah terjerumus ke dalam gerakan radikalis. Di sinilah kemudian, mempetahankan eksistensi Madin ini menjadi suatu keharusan untuk dilakukan,” katanya. (Farid)