Penulis RDP: Semua Bisa Jadi Sastrawan

0
1902
Sastrawan Ahmad Tohari menyampaikan paparan dalam launching Majalah Soeket Teki dan dialog sastra yang diselenggarakan SKM Amanat UIN Walisong

SEMARANG, Suaranahdliyin.com – Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat UIN Walisongo menyelenggarakan launching Majalah Soeket Teki dan dialog sastra dengan menghadirkan dua sastrawan kenamaan, yakni Ahmad Tohari dan Triyanto Triwikromo.

Acara yang diselenggarakan di Auditorium I Kampus 1 UIN Walisongo Semarang, mampu menyedot perhatian para mahasiswa dan pecinta sastra, datang dan memadati arena launching dan dialog sastra tersebut.

“Kalian semua bisa menjadi sastrawan, apabila mau memproses diri,” tegas Kang Tohari –sapaan akrab Ahmad Tohari- di hadapan para peserta dialog, Kamis (6/12/2018).

Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) ini, mengutarakan, proses diri bisa diawali dengan meyakini, bahwa sastra itu penting. Setelah itu, melalui kegiatan membaca, berdiskusi, dan proses terus berlanjut dengan menulis setiap hari.

“Belajar menulis itu sampai melampaui diri. Ya seperti Mas Triyanto (Triyanto Triwikromo-Red) ini yang telah melampai diri saya. Jadi kalian terus latih, dan lampauilah Triyanto,” tegasnya sembari memotivasi.

Kang Tohari menyebutkan, tak perlu khawatir akan keberadaan sastra Indonesia, sehingga kemudian itu diangkat sebagai tema dialog, yakni “Apa Kabar Kesusastraan Indonesia?’’

Menurutnya, karya sastra berdasarkan jumlah maupun penulisnya, masih banyak. “Membeludak, banyak sekali. Di mana-mana ada sastrawan. Di antaranya (bisa dilihat) dalam antologi cerpen Dialog Rajam ini,” lanjutnya menambahkan.

Sebagian kru SKM Amanat dan peserta dialog sastra foto bersama dengan Ahmad Tohari dan Triyanto Triwikromo usia dialog.

Dan membincang soal sastra, tuturnya, tak bisa lepas dari bahasa. Sastra akan menggunakan bahasa sebagai wahana bersastra. “Jika ditanya, sastrawan sekarang menggunakan bahasa seperti apa? Tentu saja dijawab, bahasa yang berlaku saat ini, yang enak dibawa di masa kini,’’ ungkapnya.

Saya sendiri, kata Tohari, mengubah bahasa lama menjadi bahasa pada masa saya. ‘’Jadi, silakan bersastra menggunakan feeling, selera dan gayamu, pada masa mu, jangan masa lalu. Namun, kaidah-kaidah bahasa Indonesia harus dijaga,” ujarnya dalam acara yang didukung Suaranahdliyin.com, Suara Merdeka, Tribun Jateng, Serat.id dan Walisongo TV Semarang.

Tak lupa, Kang Tohari berpesan kepada peserta dialog, agar terus menulis dan jangan cepat berpuas diri dalam berkarya. Sebab, merasa puas akan menjadikan diri membeku dan menjadi fosil. “Puas boleh, kalau suda seperti saya. Umur saya kan sudah tidak produktif lagi,” candanya sembari tersenyum. (fika/ ros, adb)

Comments