Oleh: Reza Naquib Faishal
Di kala suasana hening, Saya kerap merenung tentang betapa hebatnya para pendiri republik ini. Betapa tidak, mereka telah memberi landasan yang kokoh bagi suatu bangsa besar yang multietnik, multiaagama, terdiri dari ribuan pulau dan kaya sumber daya alam (SDA).
Sungguh menakjubkan; ide pemikiran politik yang terkandung di dalam Pancasila, merupakan racikan sempurna dan solutif. Para pendiri negara kita meramunya dengan sangat kreatif, mengambil jalan tengah antara dua pilihan ekstrem, negara sekuler dan negara agama.
Para pendiri bangsa mendirikan bangsa dengan menyusun rumusan imajinatif: Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa.
Bandingkan dengan Turki. Untuk mencari jalan keluar dari kemerosotan Dinasti Utsmani yang berkuasa selama hampir delapan abad, Turki akhirnya memilih negara sekuler yang ditandai dengan jatuhnya kekhalifahan pada Maret 1924.
Coba kita lihat Pakistan. Negara yang berdiri di atas bekas wilayah Dinasti Mogul itu, dari dua arus pemikiran politik yang bersaing saat menuju kemerdekaan, antara Ali Jinnah sebagai representasi gagasan negara sekuler dan Maududi sebagai representasi pengembangan gagasan Negara agama, toh akhirnya memilih sebagai negara Islam.
Dr. Izzat Mufti, seorang intelektual dan pejabat tinggi Arab Saudi pernah memuji Pancasila dengan berkata: Pancasila telah menjadi bingkai persatuan Bangsa Indonesia. Berbeda dengan Bangsa Arab, meskipun mempunyai kesamaan budaya dan bahasa, tetapi terkotak-kotak lebih dari 20 negara.
Pernyataan Dr. Izzat Mufti ini, menegaskan bahwa Indonesia berpotensi menjadi salah satu negara adidaya, apalagi dengan keberadaan para tokohnya –tanpa menyebut satu per satu- yang banyak diakui oleh dunia.
Selama periode pascareformasi, secara tidak disadari energi Pancasila berproses secara otomatis. Ketika terjadi bencana tsunami dan gempa bumi, bandingkan dengan Myanmar. Myanmar membatasi diri karena khawatir dengan campur tangan asing yang mendompleng masuknya bantuan. Namun Indonesia justru membuka diri dan menerima bantuan luar negeri, dan perdamaian yang terwujud.
Pasca tsunami, bantuan kemanusiaan yang melandasi terwujudnya sila “Persatuan Indonesia” dan sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” mengalir dari seluruh penjuru tanah air, masyarakat berduyun-duyun datang membantu rakyat Aceh tanpa ada yang memberi komando.
Energi Pancasila itulah yang muncul dan mendorong terciptanya perdamaian di berbagai daerah konflik. Tidak terkecuali, konflik di Ambon dan Poso, ditengarai sebagai konflik politik yang tidak terlepas dari provokasi dan campur tangan halus pihak luar.
Setelah masa puncak konflik dapat dilewati, muncul penyesalan mendalam dari kedua belah pihak, yakni Ustadz Adnan Mursal dan Pendeta Damanik, saling merangkul sambil menangis. Keduanya menyatakan tidak tahu sebab-musabab kenapa sampai terjadi konflik. Akhirnya muncul kesepakatan untuk menciptakan perdamaian dan melupakan dendam.
Energi Pancasila itu juga menggerakkan perdamaian dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua. Dewasa ini, solusi konflik di Aceh dan Papua dijadikan model oleh dunia internasional, untuk menangani konflik serupa.
Dengan kata lain, tanpa disadari, energi Pancasila tidak dapat dengan mudah musnah dari Indonesia, karena melekat kuat dengan budaya (kultur) bangsa. Para elite lah yang justru tidak mampu merumuskan kebijakan yang sesuai Pancasila yang tepat.
Tidak sedikit elite nasional dan calon pemimpin kehilangan jati diri sebagai anak bangsa. Mereka berpikir pragmatis demi kepentingan sesaat, silau terhadap materi, tidak punya idealisme dan melupakan keluhuran budaya spiritual bangsa sendiri.
Bukankah banyak pengalaman sejarah telah membuktikan, bahwa berpegang teguh pada nilai luhur budaya sendiri merupakan sumber kekuatan. Perhatikan antara lain negara-negara seperti Jepang, Korea, China, dan India yang mencapai kemajuan luar biasa.
Akhirnya, Pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa yang menjadi filter terhadap nilai-nilai yang tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur Pancasila itu semestinyalah kita gali senantiasa, kita rawat, dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa. Wallahu a’lam. (*)
Reza Naquib Faishal,
Penulis adalah santri Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Menawan (PTYQM) Kudus, Jawa Tengah.