Oleh: Hisyam Maliki SHum MA
Menjelang Ramadan, Baratan menjadi tradisi yang dijalankan dan dinikmati banyak orang, terutama warga Desa Kriyan pasca Nisfu Syaban. Tradisi ini pun menjadi tradisi yang senantiasa ditunggu masyarakat Kriyan dan sekitarnya.

Baratan juga berarti sebagai sarana hiburan keluarga yang menunjukkan local wisdom. Di ajang ini pula, para tetua memberikan wejangan dan khasanah kepada generasi muda mengenai makna hidup. Sekaligus, mereka akan bercerita makna Baratan, dan amalan apa saja yang patutnya dijalani.
Baratan
Merujuk pada Bahasa Jawa Kawi, Baratan berakar dari kata “Pabaratan atau Bratan” yang memiliki makna “Prang /pêrang/ (Sasradiningrat, 1903: 799-801). Penyusutan kata dalam bahasa Jawa merupakan perkara lumrah demi kepraktisan komunikasi. Istilah ini disebut abreviasi/panyudaning swara.
Penyusutan seperti itu kerap muncul baik pada awal, tengah, atau akhir kata, semisal pada Lelakon, Nyai, dan Tenanan menjadi Lakon, Nyi, dan Tenan. Sedangkan ‘Bratan’ masih dipertahankan sebagaimana akar kata, namun lexicon ini hanya diucapkan oleh generasi tua.
Dengan garis bahasa yang sama, sebagian orang meyakini bahwa Pabaratan/Peperangan yang dimaksud erat kaitannya dengan pusaran trah Raden Patah. Pusaran itu menyeret Ratu Kalinyamat dan Arya Penangsang menuju pertikaian. Tahun 1549, Raja Jipang Arya Penangsang meyakini bahwa Sunan Prawata (Raja Demak/kakak Ratu Kalinyamat Jepara) membunuh Ayah Arya Penangsang, Pangeran Seda Lepen. Tujuannya mengambil alih kepemimpinan Demak. Dengan dalih tersebut, Arya Penangsang memberikan pusaka Keris Setan Kober kepada Ki Rangkud, seorang kajineman (telik sandi/polisi rahasia), yang ia tugasi membunuh Pangeran Prawata.
Mengetahui hal itu, Ratu Kalinyamat yang dijuluki bangsa Portugis De Kranige Dame (Wanita Pemberani) tidak tinggal diam. Dia dan suaminya menuju Kudus untuk sowan ke Kanjeng Sunan Kudus. Sayangnya, kedua belah pihak terjadi kebuntuan. Akhirnya, Ratu Kalinyamat beserta rombongan kembali ke Jepara. Namun, rombongan tersebut diikuti oleh gerombolan Kajineman dari Arya Penangsang.
Menyadari kalah jumlah dan siasat, Ratu Kalinyamat dan bala tentaranya memilih untuk mundur. Kisah pilu perjalanan Ratu kalinyamat dan suaminya itu pun mengilhami nama-nama desa sepanjang Kudus-Jepara, seperti Perambatan (rerambatan), Pelang (tapel kuda hilang), atau Purwogondo (aroma darah).
Lanjutan kisah ini juga melahirkan dua kerajaan besar, Pati dan Mataram. Kedua negeri itu tak lepas dari sayembara Sultan Hadiwijaya dari Pajang, yang berduka atas kesedihan Nyi Ratu Kalinyamat. “ …. Tukang ngarit jika dapat membunuh Arya Penangsang, pasti akan diganjar Negeri Pati dan Mataram”. (Babad Tanah Jawi, 2013: 107).
Ketika rakyat Kalinyamat mengetahui berita tersebut, para warga menerangi rumah mereka dengan Impes (penggalan dari kata ‘Mimpes’ yang berarti mengempis). Impes dianggap sebagai ‘dilah’ atau lampu khas dari Kabupaten Jepara. Hal ini tidak berbeda jauh dengan asal-muasal ‘Damar Kurung’ dari Gresik atau ‘Teng-teng’ dari Semarang. Selain impes, warga juga menghidupkan benda terang lainnya seperti Umpluk (Lampu sentir dari gerabah ukuran kecil), obor, blarak, atau mancung yang memang digunakan sebagai penerang di zaman itu.
Baratan Masa Kini
Lepas dari kisah masa lalu, makna Pabaratan lambat laun mengalami perluasan yang berarti memerangi perkara buruk atau pembebasan diri. Hal ini juga didukung dengan beragam ugo rampe yang mengingatkan manusia untuk selalu bersikap positif. Semisal, Impes yang memiliki kepanjangan Ingsun Manungso Apes (Manusia yang penuh kelemahan) sebagaimana kalimat “Al-Insanu Mahalul Khoto wan Nisyan”.
Alhasil, manusia dianjurkan untuk selalu mensucikan diri kepada Allah. Selain itu, tedapat gunungan yang dijadikan perlambang ganjaran di bulan suci ramadhan. Warga selalu antusias untuk merebut isi gunungan setelah diangkat keliling desa.
Rasa suka ria ini merupakan sarana untuk melatih diri dalam kebaikan guna menyambut Ramadhan. Saat merayakannya, anak-anak dilatih untuk berdoa di dalam masjid dan dihadiahi makanan khas Nisfu Sya’ban, yakni Jangan (adonan sayur tujuh jenis dengan urapan kelapa) dan Puli (Fermentasi nasi dengan topping kelapa).
Selanjutnya, anak-anak akan menenteng benda-benda bercahaya sambil menyanyikan lagu ‘Tong Tong Jik’ hingga larut malam. Akhirnya, makna Pabaratan tidak sebatas cerita kuno, hiburan atau ceremonial semata, melainkan menyimpan makna kehidupan seperti di atas yang harus bisa diterapkan oleh setiap individu. (*)
Hisyam Maliki SHum MA,
Penulis adalah kader GP Ansor Desa Kriyan, Kecamatan Pecangaan, Jepara