Dalam beberapa tahun terakhir, isu kesetaraan gender telah banyak dibicarakan. Bahkan ia telah banyak mendapatkan perhatian dari berbagai golongan, termasuk para anak muda atau yang biasa disebut dengan Gen-Z.
Kesetaraan gender merupakan keadaan, di mana setiap individu mempunyai hak dan kesempatan yang sama, tanpa melihat jenis kelamin. Ada kesetaraan dan keadilan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.
Demikian juga pada Ramadan ini, laki-laki dan perempuan memiliki peluang sama dalam menggapai derajat takwa. (QS. Al Baqarah: 183)
Isu seks dan gender pada momentum Ramadan pun menjadi salah satu isu yang menarik untuk dikaji, khususnya oleh kalangan pesantren.
Seks dan gender, sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda. Namun seringkali, sebagian masyarakat memahami dua hal itu secara tumpang tindah.
Seks merupakan hakikat atau bawaan kita secara fisiologis dan biologis dari lahir, seperti perempuan mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Sedang pada laki-laki mempunyai jakun.
Sementara itu, gender merupakan perbedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial. Misalnya isu bias gender, misalnya memasak dan mencuci itu adalah pekerjaan perempuan, laki-laki tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah.
Padahal mestinya, itu merupakan basic skill yang harus dikuasai baik laki-laki maupun perempuan.
Untuk mendudukkan perkara isu gender seperti yang dikenal sumur, dapur dan kasur yang diasumsikan hanya untuk kaum perempuan, maka perlu adanya pemahaman yang lebih komprehensif tentang pembagian ruang domestik dan ruang publik agar lebih setara.
Untuk menjawab pemahaman-pemahaman yang kurang tepat terkait isu perempuan dan kesetaraan gender itulah, ngaji isu gender dan kesetaraan di ranah publik ini menjadi penting pada momentum Ramadan.
Dan hal demikian pula, kiranya, yang menginspirasi digelarnya kajian Ramadan yang mengusung “Program Intensif Santriyah Responsif Gender Siap Guna” di Pondok Prisma Quranuna dengan mengkaji kitab Assittin Al Adliyah (60 hadis Keadilan Gender) karya Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dengan pengampu Ustaz M Arif Hakim.
Kitab yang berisi 60 hadis ini, untuk memperkuat pemahaman terkait hak-hak perempuan baik di ruang domestik maupun di ruang publik.
Tujuan, tentu saja, agar para santriyah yang notabene calon penggerak bangsa, punya sikap yang responsif terhadap isu-isu perempuan dan kesetaraan gender. Bahwa antara laki-laki dan perempuan, yang membedakan hanyalah kadar ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tidakkah sangat menyedihkan jika kita mengingat posisi perempuan pada zaman Jahiliyah, di mana perempuan memiliki kedudukan yang begitu rendah, jadikan sebagai budak, pemuas nafsu laki-laki dan simbol keterbelakangan?
Nah, ketika Islam hadir, derajat perempuan begitu mulia dan banyak peran sosial, budaya, ekonomi, militer maupun politik yang melibatkan partisipasi kaum perempuan.
Dengan kata lain, Islam begitu tinggi mengangkat harkat dan martabat perempuan, dan ini harus dipahami oleh publik secara menyeluruh, mestinya. Pemahaman inilah yang harus dibumikan. Wallahu a’lam. (*)
Lisa Tamarin, adalah santriyah Ma’had Prisma Quranuna Kudus, peserta program One Day One Essay dan mahasiswi Aqidah Filsafat Islam (AFI) Fakultas Ushuluddin, IAIN Kudus.