Oleh: Isa Abdillah
28 Oktober 2018, tepat 90 tahun lalu, beberapa pemuda merasa prihatin akan kondisi bangsa besar, yang terkoyak dan mudah diadu domba karena tidak bersatu.
Di tahun 1928 lalu, di mana kondisi masih serba susah, tak ada modal transportasi yang memadai, belum ada sarana komunikasi jarak jauh yang bisa mengantarkan informasi secara cepat dan akurat seperti sekarang ini.
Namun mereka punya satu tekad, satu pandangan dan satu keyakinan, bahwa Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang beragam suku, agama dan ras, harus di satukan.
Mereka sadar, yang bisa menyatukan bangsa Indonesia bukan suku, kendati ada suku mayoritas. Yang bisa menyatukan Indonesia juga bukan agama, walau ada agama mayoritas, juga bukan kelompok atau golongan.
Para pemuda itu yakin dan sadar, yang bisa menyatukan masyarakat yang beragam itu adalah tanah air, bahasa dan bangsa. Dan dengan itulah, para pemuda itu telah menorehkan sejarah dengan tinta emas yang takkan lekang oleh waktu, dan dikenang di segala zaman oleh masyarakat Indonesia.
Tetapi melihat zaman sekarang ini dengan berbagai kemudahan yang bisa didapat, justru terjadi kemunduran dibandingkan 90 tahun lalu. Setidaknya itulah yang Saya rasakan. Sekelompok orang dengan syahwat politiknya, ‘’ingin’’ negara yang sudah bersatu ini tercerai berai.
Kelompok dengan syahwat politik itu, mencoba memaksakan kehendak dengan segala cara, untuk mencapai kekuasaan dan menggantikan sistem yang ada. Parahnya, banyak masyarakat terbuai oleh ‘’buaian angin neraka berbalut agama’’, sehingga menerpa semilir bak tiupan angin surga.
Mereka terbuai oleh mimpi-mimpi di siang hari, imajinasi dan halusinasi yang diyakini oleh kelompok tersebut, akan terwujud dengan pasti.
Ironis, melihat nasib anak negeri yang mudah terombang ambing oleh situasi, yang diciptakan oleh sekelompok minoritas yang suka memprovokasi. Bahkan yang lebih memprihatinkan, agama dijadikan kedok syahwat jahat untuk mengganti sistem Pancasila yang telah menjadi kalimatun sawa’ bagi Indonesia ini.
Ulama dan umara dijadikan lahan bully, untuk membodohi rakyat yang memang belum benar-benar sadar akan kecerdasannya.
Ya Allah, melalui tetesan air mata di saat kami bersimpuh dan berdoa, kami menunggu ‘’skenario langit’’ untuk mempersatukan bangsa ini kembali. Yaa Jabbar Ya Qohar, kami bersimpuh dan doa, sembari tetap berikhtiar untuk menjaga NKRI agar tetap berdiri, negeri yang kami cintai ini. Namun hanya atas kuasa-Mu jua, segala asa dan doa bisa terealisasi. (*)
Isa Abdillah,
Penulis adalah Kepala Biro Protokoler Satkorcab Banser Kabupaten Kudus