Kurban dan Sejarah Perempuan yang Terlupa

0
5311

Oleh: Umdah El Baroroh

Zulhijjah, selain dikenal sebagai bulan haji, juga identik dengan bulan kurban, lantaran di dalamnya disyariatkan (ibadah) haji dan terdapat kesunahan berkurban. Oleh karenanya, hari raya pada bulan ini disebut dengan Idul Adha, yakni hari raya kurban.

Bagi masyarakat Muslim di Indonesia, ibadah kurban menjadi tradisi yang sangat ditunggu-tunggu. Karena pada hari itu, kita bisa ‘’berpesta’’ menikmati aneka macam hidangan daging kurban sembari merayakan hari raya. Tetapi terkadang kita tidak pernah merenungi sejarah, makna, dan hikmah di balik syariat kurban.

Di beberapa tulisan yang menjelaskan tentang kurban, biasanya diceritakan bahwa syariat ini berawal dari adanya mimpi Nabi Ibrahim Alaihissalam, yang diminta menyembelih puteranya, Ismail Alaihissalam.

Karena itu adalah perintah Allah Subhanahu wa Taala, maka Ismail pun setuju dan mempersilakan ayahnya menyembelihnya. Tetapi ketika Ismail dibaringkan, dan pisau yang hendak digunakan menyembelih ditaruh di leher Ismail, tiba-tiba Allah menggantinya dengan seekor domba besar.

Dari penggalan cerita itu, seakan-akan peristiwa tersebut adalah peristiwa dua orang saja, yaitu Ibrahim dan Ismail. Dua laki-laki yang berani dan ikhlas menjalankan perintah Allah dengan sepenuh hati.

Apakah perempuan tidak terlibat dalam sejarah kurban?

Pertanyaan ini yang sering menggelayut di benak penulis. Dalam banyak kisah agama, perempuan seringkali ‘’hilang’’ dalam peredaran sejarah, atau memang sengaja dihilangkan. Di mana Hajar dan Sarah?

Ibrahim dan Sarah, konon hingga masa tuanya tidak diberi keturunan. Atas usulan Sarah, Ibrahim diminta menikahi perempuan budak, yaitu Hajar. Siapa tahu dengan menikahi perempuan muda ini, akan mendapatkan keturunan.

Ternyata dugaan ini benar adanya. Tak lama setelah pernikahan itu, Hajar mengandung dan melahirkan Ismail. Sebagai perempuan, meski awalnya merelakan suaminya menikah lagi, tetapi perasaan cemburu tentu saja ada. Hingga suatu ketika, Ibrahim diperintahkan untuk membawa Hajar dan Ismail ke Mekah, dan meninggalkan keduanya di sekitar Kakbah.

Itu adalah perintah Allah. Maka Ibrahim pun melakukannya dengan ikhlas. Hajar yang awalnya bertanya-tanya, pun akhirnya bisa menerima dengan rela. Berbekal makanan dan minuman sekadarnya, ia tinggalkan istri dan anaknya di sana; keduanya ‘’dititipkan’’ kepada Allah. Ibrahim hanya bisa berdoa, memohon kepada Allah untuk menjaga mereka sebaik-baiknya.

Ia pun bisa melangitkan doa: “Rabbana inni askantu min dzurriyyati biwadin ghairi dzi zar’in inda baitikal muharram, Rabbana liyuqimusshalah …” (QS. Ibrahim: 37).

Artinya: Ya Tuhan, sesungguhnya aku tempatkan keturunanku di lembah yang kering (tak memiliki tumbuhan) di dekat rumah-MU yang mulia, Ya Tuhan, agar mereka menjalankan shalat…).

Bertahun-tahun Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di sana, dalam keadaan yang serba paspasan. Bahkan hingga saat bekal yang mereka bawa habis, Hajar mondar-mandir sendiri mencari bantuan di antara bukit Shofa dan Marwa untuk menemukan sumber air. Hingga akhirnya mereka menemukan sumber air zamzam, yang dapat menyambung kehidupan mereka dan manusia seluruh negeri Arab hingga kini.

Saat sudah memasuki usia kanak-kanak, tiba-tiba Ibrahim mendapatkan mimpi untuk menyembelih Ismail; anak yang telah lama ia tinggalkan jauh darinya. Ibrahim pun menjemputnya, dan menyampaikan mimpi tersebut kepada putera dan istrinya.

Bisa dibayangkan, Ibu mana yang kuat melepas anak yang telah diasuhnya seorang diri dalam susah payah? Apalagi dengan cara disembelih sebagaimana binatang? Pun demikian dengan Ibrahim. Ayah mana yang kuat menyaksikan kepergian anaknya yang baru saja ia temui setelah bertahun-tahun terpisah?

Sungguh itu kisah yang sangat dramatis! Namun dengan landasan iman yang kuat, mereka mengikhlaskan Ismail sebagai martir di jalan Allah. Keikhlasan ini akhirnya membuahkan kasih sayang Allah kepada mereka bertiga. Allah memberikan ganti domba besar dari surga untuk disembelih sebagai kurban. Ismail pun selamat, dan kelak menggantikan Ibrahim dalam mendakwahkan agama hanif.

Kisah di atas menceritakan beberapa tokoh, yang di dalamnya juga ada peran perempuan tangguh, yaitu Hajar dan Sarah. Selain para laki-laki hebat, yaitu Ibrahim dan Ismail.  Kehebatan mereka inilah, yang, bagi Allah, sangat penting untuk dikenang dan diteladani sepanjang masa, melalui pensyariatan kurban.

Oleh karenanya, dalam menjalani ibadah kurban, kita tidak saja meneladani keikhlasan Ibrahim, juga ada keteladanan Hajar, ibu yang memiliki ketangguhan luar biasa dalam membesarkan anaknya dan keikhlasan yang tak terperi.

Demikian pula dengan Sarah, yang ikhlas mengenyampingkan egonya sebagai perempuan, hingga lahirlah seorang Ismail, yang menjadi penerus Ibrahim dalam menyampaikan agama hanif hingga kepada Nabi Muhammad. Andai tidak ada perempuan-perempuan itu, barangkali tidak kita dapatkan agama hanif yang dibawa oleh Nabi Ibrahim.

Maka, kiranya kesadaran tentang adanya keteladanan perempuan-perempuan dalam kisah-kisah agama, perlu selalu ditonjolkan, agar masyarakat bisa memahami, bahwa agama tidak anti terhadap perempuan; agama tidak meminggirkan perempuan.

Para tokoh agama juga penting memiliki sensitifitas terhadap perempuan, terutama dalam membaca teks dan hukumnya. Sebab, agama sesungguhnya datang sebagai rahmat (kasih sayang) kepada seluruh umat, baik laki-laki dan perempuan.

Nabi Muhammad juga telah meneladankan kepada kita, bagaimana mengasihi perempuan dengan sebaik-baiknya. Hingga Nabi berpesan kepada para lelaki: “Khairukum khairukum liahlih, wa ana khairukum liahli.” (Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya. Dan saya adalah sebaik-baik orang di antara kalian kepada istriku). Wallah a’lam bi al-shawab. (*)

Umdah El Baroroh,

Penulis aktivis perempuan dan dosen pada Institut Pesantren Mathaliul Falah (IPMAFA), Kajen, Pati.

Comments