JAKARTA, Suaranahdliyin.com – Komitmen Presiden Joko Widodo terhadap pemberantasan korupsi, tidak pernah surut satu jengkal pun. Dalam berbagai kesempatan, Presiden meminta supaya pemberantasan korupsi mengedepankan aspek pencegahan, demi mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih.
Berbagai kasus korupsi yang melibatkan para pejabat di tingkat pusat maupun daerah, menjadi indikator kasat mata betapa pentingnya upaya pencegahan yang lebih efektif. Menindaklanjuti komitmen Presiden tersebut, Kantor Staf Presiden (KSP) bertemu dan berkoordinasi dengan beberapa kementerian dan lembaga, guna mendorong terciptanya sistem kolaborasi pencegahan korupsi agar lebih efektif.
Ketika koordinasi masih menjadi permasalahan pokok, maka struktur kerja yang melibatkan lintas lembaga perlu diperhatikan. Hal ini disampaikan KSP, Moeldoko, saat berdiskusi dengan Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie SH (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Dr. Bivitri Susanti (Dosen Universitas Indonesia), Sri Wahyuningsih (Kementerian Dalam Negeri), Prahesti Pandanwangi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), pejabat Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bina Graha, Jakarta, 2 Maret 2018 lalu.
Moeldoko memandang, jika ada kemauan dari setiap pihak menangani masalah ini, pasti ada jalan untuk mengurai benang merah. Pencegahan korupsi harus dilihat sebagai upaya yang positif bagi lembaga yang diminta untuk melakukan pencegahan korupsi.
“Seorang inspektur kadang tidak disukai karena memberi pendapat bagaimana cara kita bekerja, namun inspektur seharusnya dilihat sedang berupaya mencegah kita melakukan kesalahan yang tidak kita sadari,” kata Moeldoko. ‘’KSP akan mengurai benang merah ini dengan berkoordinasi dengan Kementerian terkait. Setiap titik rawan korupsi, harus dicegah bersama,” lanjutnya.
Prof. Jimly, mengutarakan, bahwa pencegahan korupsi sangat penting. Negara harus mengedepankan pencegahan, tidak hanya penindakan. Penindakan adalah alat negara yang baru digunakan jika pencegahan sudah tidak bisa dilakukan.
“Menurut UU tentang KPK, KPK memiliki peran penindakan dan pencegahan. Namun pencegahan tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Harus ada kolaborasi dari semua pihak. Pemimpin harus siap ikut bertanggung jawab, apabila bawahannya ada yang korupsi. Bila perlu, pemerintah perlu mempertimbangkan merancang Undang-Undang khusus tentang Sumpah Jabatan dan Tata Cara Pertanggungjawaban Publik,” tegas Jimly.
Bivitri Susanti, menjelaskan, kolaborasi antara KPK dengan Pemerintah, perlu mempertimbangkan posisi KPK yang independen. Namun independensi ini bukan berarti KPK tidak bisa berkolaborasi dengan Pemerintah dalam hal pencegahan korupsi.
‘’Perlu payung hukum yang tepat, supaya bisa mengakomodasi kolaborasi pencegahan korupsi antara KPK dengan Pemerintah. Payung hukum ini berfungsi untuk memastikan kolaborasi yang lebih efektif, tanpa mengurangi independensi KPK. Payung hukum yang ideal adalah Peraturan Pemerintah,’’ paparnya.
Abraham Wirotomo, Tenaga Ahli Madya KSP, mengemukakan, saat ini semangat pencegahan korupsi sudah tumbuh di berbagai Kementerian, namun masih rawan tumpang tindih yang menimbulkan beban administrasi tinggi.
‘’Perlu strategi khusus untuk mengelola kolaborasi pencegahan korupsi, bila ingin mewujudkan pencegahan korupsi yang efektif. Saat ini, Pemerintah Daerah harus melaporkan perkembangan program pencegahan korupsi kepada KPK, Kemendagri, dan Bappenas. Akibatnya, para pelaksana program sibuk memikirkan pelaporan ketimbang pelaksanaan programnya,’’ jelasnya.
Sri Wahyuningsih, Inspektur Jenderal Kemendagri, melihat upaya pencegahan belum efektif, lebih pada masalah implementasi, bukan programnya. Ia menyontohkan, peran inspektorat di daerah belum optimal, karena tidak memiliki kewenangan yang cukup melakukan koordinasi dengan dinas-dinas lain. ‘’Di sisi lain, KemenPAN-RB menemukan banyaknya penggunaan aplikasi pengawasan yang sering tumpang tindih antarkementerian,’’ tuturnya.
Timotius Partohap, pejabat di bagian Penelitian dan Pengembangan KPK, mengatakan, KPK melaksanakan kegiatan koordinasi dan supervisi pencegahan (korsupgah) pada beberapa pemerintahan daerah kabupaten/kota di seluruh provinsi.
Salah satu sektor yang menjadi fokus, adalah pencegahan korupsi di sektor sumber daya alam (SDA). Selama ini, publik lebih banyak melihat penindakan KPK sebagai cara yang paling efektif memberantas korupsi.
‘’Sementara pencegahan masih dianggap sebelah mata dan belum banyak mengetahuinya. Padahal, sejak dibentuk 2004 silam, selain menindak para koruptor, KPK juga memiliki program pencegahan sebagai bagian upaya memberantas korupsi,’’ ungkapnya.
Sedang Prahesti Pandanwangi, Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas, menyampaikan, Bappenas sedang merevisi Perpres 55/2012 tentang Strategi Nasional Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi.
Revisi dari Perpres 55/2012, menuturnya, dapat mengakomodasi kolaborasi yang lebih efektif. ‘’Upaya peningkatan kolaborasi sudah masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2017, sebagai salah satu kegiatan prioritas Pemerintah di tahun 2017. Upaya pencegahan korupsi bisa lebih bersinergi, apabila kolaborasi dan sinergi dimulai sejak penyusunan rencana pencegahan korupsi di masing-masing Kementerian atau Lembaga,’’ ujarnya. (rls/ ros, adb)