Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Kini ada Aswaja An-Nahdliyah yang terdiri dari dua kata. Aswaja singkatan dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sedang An-Nahdliyah merupakan penisbatan dari jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Jadi, Aswaja An-Nahdhiyah adalah Islam Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang lahir 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya dengan nama Nahdlatul Ulama.
Secara ideologi, ia bagian dari Aswaja sedunia, salah satu dari tiga ideologi genuine, yaitu Khawarij, Aswaja, dan Syi’ah. Dalam pandangan Abid al-Jabiri, ketiga-tiganya adalah partai politik, meskipun kadar kepolitikannya tidak sama. Khawarij dan Syi’ah lebih kental porsi kepolitikannya ketimbang Aswaja.
Nomenklatur Aswaja (Ahlussunnah wal-Jamaa’ah) tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad dan Sahabatnya (Prof Said Aqil Siroj, 2008). Sebuah bid’ah istilahiyah yang dinilai pas untuk menggambarkan “thaifah najiyah”.
Term “sunnah” dan “jamaah” memang sudah ada dalam hadis sahih pada konteks dan redaksi lain, yang bukan nama sebuah sekte Islam. Ulama pertama menggaungkan nomenklatur Aswaja adalah Al-Baqilani (w. 403); Al-Baghdadi (w. 429); Al-Juwaini (w. 478); Al-Ghazali (w. 505), As-Syahrastani (w. 548) dan Ar-Razi (w. 606).
Mereka pengikut Imam Madzhab dalam fikih dan mengikuti Abu Hasan Asy’ari (269 – 323 H), Imam Abu Manshur al-Ma’turidi (238 – 333 H) dalam akidah serta Al-Ghazali dan Al-Junaid dalam tasawuf.
Mereka merupakan perumus akidah, fikih dan tasawuf Aswaja, yang mengambil dari al-Quran, Hadis dan tradisi Salafus shalih. Mereka diakui saling berkonvergensi secara baik (Dr Abu Zahrah, I/2008).
Karakter rumusannya yaitu: 1). Dalil naqli (al-Quran – Hadis) dan aqli (Ijma’ – Qiyas); 2). Menjumbuhkan hal yang bertentangan seperti antara free act-free will Qadariyah-Mu’tazilah dengan determinisme Murji’ah-Jabariyah; 3). Tasamuh (toleran) atau tidak gampang mengafirkan sekte lain; 4). Tawazun (berkesimbangan); 5). I’tidal (menegakkan keadilan); 6). Tawassut (moderat).
Waktu itu, yang sejatinya parpol diagamakan. Contoh, ada Qadariyah yang anti Mu’awiyah dan memegangi de yure khalifah Ali Bin Abi Thalib. Menanggapi sikap Murji’ah yang pasrah kepada Mu’awiyah yang mereka pandang bughat, Qadariyah berdalil: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu mengubah nasib mereka sendiri.” (QS. 13; 11)
Selanjutnya, Qadariyah bersimbiosa dengan Mu’tazilah. Sesungguhnya Murji’ah itu netral, tetapi atas dasar dar’ul mafaasid mereka mendukung de facto Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ia menggelontori uang dan amalan zikir yang artinya: “Ya Allah, Engkaulah Rajanya seluruh raja. Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki” (baca=Muawiyah)…” (QS 3; 26-7).
Pada era dinasti Amawiyah yang menjadikan orang non Arab sebagai warga kelas dua dalam sektor politik, sosial dan ekonomi (Prof Syamruddin Nasution, 2019). Maka doktrin Aswaja yang dipegangi Al-Amin (Arab) kemudian digantikan oleh adiknya, Al-Makmun (Ibu dari Iran) yang Mu’tazilah, langsung didelegitimasi oleh Imam Ahmad bin Hanbal via doktrin Makmun tentang kemakhlukan al-Quran-nya.
Itulah sebabnya, sisa kaum Nashibi (fanatis Mu’awiyah) di Saudi Wahabi yang sangat anti Rafidhi (kaum fanatis Sayidina Ali-Syi’ah-Iran), melanjutkan permusuhan itu hingga abad ke-15 H, yang kini ingin berdamai.
Kaum Salafi-Wahabi yang tidak diakui oleh Muktamar Aswaja Internasional di Chechnya 2016 karena doktrin takfirnya yang neo khawarij, tetap mengklaim sebagai Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sebagai perang terminologis. Para pendakwah Salafi-Wahabi Indonesia juga tak malu mengklaim Aswaja, meskipun nomenklatur itu bias dengan Aswaja yang eksis di Indonesia dan dunia.
Dengan adanya klaim dari Ja’far Umar Talib, Dr Firanda Adirja, Yazid Jawas dan lainnya, maka Aswaja kuno dari Salafus-Shalih yang hidup di seluruh dunia, untuk Indonesia menamakan diri Aswaja An-Nahdhiyah. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah Rektor Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo.