Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Viral di dunia intelektual maupun digital, bahwa di wilayah muslim terjajah waktu itu, kolonial memiliki target 3G, yaitu gold (emas), glory (jumawa) dan gospel (Injil). Atau 3M, yaitu marchent (dagangan), military (tentara) dan missionary (penginjilan).
Meskipun sudah kuno, tetapi atsar atau jejaknya masih menghunjam, yang diakibatkan dari strategi de vide et impera kolonial di tiga kawasan sentra geopolitik dengan isu takfir ala Khawarij.
Untuk itu kolonial menggunakan senjata ampuh. Pertama, fundamentalisme sengaja dilahirkan di Timur Tengah (Timteng), khususnya Saudi Arabia, dengan doktrin takfir ala Wahabi yang mirip pola Khawarij. Kawasan ini ditarget, karena memiliki dua kota suci umat Islam sedunia.
Resep kolonial ini akhirnya menjadi bumerang, karena mereka tidak hanya mengafirkan non Wahabi, tetapi sesama Wahabi juga. Misalnya Juhaiman Al-Utaibi Al-Wahabi (1979) yang mengafirkan kerajaan Saudi Al-Wahabi yang menfasilitasi pangkalan militer AS di Saudi, sementara kerajaan mengafirkan Juhaiman karena memberontak kerajaan (bughat).
Pengkafiran antarmereka bisa dilihat melalui berbagai media hari ini. Bahkan kepada kaum muslim Nusantara yang mengusung wasathiyatul Islam, Ustadz Utsman Haidar bin Seff Al-Wahhabi menyatakan tuduhannya: “ulaa’ika humul kaafiruuna haqqan”. (Mereka adalah kafir tulen). Ia memberikan hujahnya menggunakan dalil yang ditafsirkan secara tendensius dari Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 159-1, (lihat video, dalam https://youto.be/WRe7bOCjcbw).
Logis tuduhan itu ia turunkan dari fatwa Syaikh Muhammad Bin Abdulwahab yang mengkafirkan muslim di luar golongannya, serta menghalalkan darah dan hartanya (من دخل فى دعوتنا فله ما لنا و عليه ما علينا ومن لم يدخل معنا فهو كافر حلال الدم والمال، inti dikutip dari Syaikh Zaini Dahlan, Ad-Durar as-Saniyah…, hlm. 42).
Kembali ke masa perang era Sahabat, besar dugaan demi melawan isu terhadap ideologi Khawarij yang mengafirkan Khalifah Ali Bin Abi Talib cs, maka lahirlah ideologi Syiah Imamiyah yang mengafirkan muslim yang tidak mengakui 12 imam ala mereka. Al-Majlisi menyatakan:” اعلم ان اطلاق لفظ الشرك والكفر على من لم يعتقد امامة امير المؤمنين والاءمة من ولده عليهم السلام”. (Al-Majlisi dalam Biharul Anwar 23/390).
Kedua, liberalisme Ahmadiyah pengikut Mirza Ghulam Ahmad yang sengaja dilahirkan oleh kolonial di India. Negeri ini ditarget karena tempat konsentrasi umat Islam terbesar sebelum Negara Pakistan lahir. Tragisnya, Ahmadiyah yang liberal itu ikut-ikutan mengafirkan orang muslim dari kalangan non Ahmadiyah. (Lihat, Tadzkirah [kitab Suci Ahmadiyah yang diakui oleh Mirza Ghulam Ahmad dan sebagian besar penganutnya sebagai wahyu] hlm. 342; 600).
Ketiga, sekularisme oleh Snouck Hurgronye (H. Abdul Ghaffar) dan murid-muridnya di Indonesia. Negeri ini ditarget oleh kolonial, karena menjadi sentra umat Islam kedua waktu itu. Ideologi ini berprinsip pemisahan agama dengan politik. Padahal diyakini oleh mayoritas umat, bahwa Islam bersifat kaffah dan tidak terbagi-bagi (QS. 2: 208; 15: 91).
Dari statemen al-Quran itu, ulama mendeklarasikan bahwa seluruh kegiatan umat Islam adalah ibadah (QS. 51: 56). Hanya saja ibadah bisa diklasifikasi dalam ibadah mahdhah seperti salat dan ghairu mahdhah seperti politik, ekonomi, dan sains. Sebagai ibadah ghairu mahdhah, politik memiliki ruang ijtihad bagi ahlinya. Karena Islam tidak menawarkan sistem politik yang baku, yang penting menjamin (huriyah), sawasiyah, ‘adalah, dan syura.
Dan di masa kini, debat internal dan antaragama yang tak produktif, sangat masif di dunia virtual. Sungguh amat memprihatinkan. Di sisi lain sekularisme mendapatkan angin segar dari fatwa yang membagi bid’ah ke dalam bid’ah diniyah dan dunyawiyah. Di sinilah urgensi pengusung wasathiyatul Islam keluar kandang, untuk secara elegan menjadi ragi bagi kemanusiaan. Wallaahu a’lam. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo.