
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu masif tentu memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Di sisi lain, perkembangan ini mempunyai dampak buruk sebab pembangunan yang ada tidak ramah lingkungan.
Problem tersebut mencuat dalam Seminar Sosio-ekologi yang diadakan Komunitas Pecinta Nalar (KPN) IAIN Kudus di Gedung Perpustakaan lantai 4, Senin (20/03/2023).
Problem ekologi di kawasan Muria Raya menjadi hal yang penting untuk menjadi perhatian bersama. Fenomena sosio-ekologi di wilayah Pantura ini tak bisa lepas dari banyak faktor. Termasuk di dalamnya kebijakan politik, kondisi ekonomi, sosial budaya, ketahanan dan keamanan manusia.
“Problemnya adalah mindset yang menganggap hubungan manusia dengan alam itu terpisah, sehingga manusia merasa dominan untuk mengeksploitasi alam,” kata Umi Qodarisasi, dosen IAIN Kudus memaparkan materi, Senin (20/03).
Untuk menghilangkan mindset itu, kata dia, perlu adanya upaya menumbuhkan kesadaran lingkungan bagi setiap orang. Kesadaran lingkungan ini, dihadapkan bisa memicu masyarakat untuk menemukan solusi dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainabel development).
“Kesadaran ini menjadi etika kita dalam menjaga lingkungan, sebab manusia dan alam adalah kesatuan, jika ini terbentuk, manusia akan memiliki awarnes, perhatian dalam mengelola lingkungan,” terangnya.
Terkait hal itu, lulusan Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada itu menawarkan beberapa langkah real yang bisa dilakukan anak muda untuk membantu melestarikan lingkungan. Di antaranya dengan memunculkan gerakan-gerakan kolektif, menginisiasi dan membuat kampanye lingkungan. Membuat sosial movement terkait lingkungan, serta melindungi ruang-ruang hidup yang bergesekan dengan pembangunan.
“Pertama kita bangun goal atau tujuan bersama, menanam ideologi hidup seirama dengan alam, membuat metodologi, menciptakan gerakan lingkungan, dan upaya-upaya kolektif dengan masyarakat, akademisi, instansi, komunitas, dll,” tambahnya.
Kondisi ekologi di Muria
Melihat kondisi ekologi di kawasan Muria, Direktur Muria Research Center (MRC) Indonesia, Muchammad Widjanarko, mengamati kondisi sekarang jauh berbeda dengan kondisi muria 20 tahun ke belakang. Kondisi yang jauh berbeda ini, kata lelaki yang akrab disapa Pak Wid, tentu menjadi problem.
Menurut dosen Universitas Muria Kudus itu, lingkungan hidup, kemunculan degradasi hutan, eksploitasi tambang hingga banyaknya bencana yang terjadi lebih banyak disebabkan karena perilaku manusia.
“Banyak masalah di kawasan muria yang penting untuk diulik, misalnya pengelolaan tata kota, bencana yang timbul dari perilaku manusia, persoalan itu selalu ada sampai sekarang,” paparnya.
Widjanarko menunjukkan, data perubahan kondisi hutan di Muria sejak tahun 1990 sampai 2006. Dari data itu, kawasan muria telah kehilangan 85,5 persen hutan alamnya.
“Hutan rusak di muria mencapai 35.462 hektar, ini bahkan data 2006, sudah kelewat belasan tahun, bagaimana kondisi sekarang?” kata dia.
Kapitalisme pembangunan, ilegal loging, Komersialisasi air, perburuan macan muria, penumpukan sampah di area pendakian. Pengrusakan ini, kata dia, harus segera dihentikan. Salah satunya dengan menanamkan kepedulian manusia terhadap lingkungan dalam perilaku hidup.
“Kepedulian terhadap lingkungan perlu diimplementasikan dalam laku hidup, selain itu kita juga harus menjaga ekosistem hutan, investasi SDA secukupnya dan memperbaiki efisiensi energi,” terangnya.
Terakhir, dia berpesan kepada seluruh masyarakat untuk membiasakan perilaku mitigasi bencana dan mengaktivasi potensi keanekaragaman hayati dan budaya di muria.
“Perilaku mitigasi bencana, etika merawat lingkungan ini yang perlu ditumbuhkan, sebab muria masih punya banyak potensi yang perlu dilindungi dan dijaga,”ungkapnya.(sim/adb)