KUDUS, Suaranahdliyin.com – Da’i kondang asal Bojonegoro KH. Anwar Zahid membeberkan beberapa kriteria orang baik. Hal itu ia sampaikan kepada jamaah di Lapangan Desa Rendeng, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Senin (01/08/22) malam.
“Orang baik adalah orang yang keburukannya lebih sedikit dibandingkan yang lain,” sebut KH. Anwar Zahid.
Ia menjelaskan, tidak ada orang yang tidak punya kekurangan. Tidak ada pula orang yang tidak punya kebaikan. Hanya saja, orang baik itu orang yang kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya.
“Kemudian, orang baik itu adalah orang yang bisa berbuat baik kepada orang yang jelek,” kata KH. Anwar Zahid.
Kalau hanya baik kepada yang berbuat baik itu sudah biasa. Tapi kalau orang bisa baik kepada orang lain yang berbuat buruk kepadanya sekalipun, itulah yang sulit. “Nah yang bisa seperti itulah orang baik,” jelasnya.
Kendati begitu, KH. Anwar Zahid memotivasi agar tidak sekadar baik (saleh) tapi juga melakukan perbaikan (muslih). “Jangan hanya puas jadi orang baik tapi harus meningkat jadi orang yang bisa memperbaiki,” kata dia.
Menurutnya, orang saleh itu orang baik yang manfaat kebaikannya hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan orang yang memperbaiki itu yang manfaat kebaikannya untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang lain.
Hanya saja, orang baik disukai banyak orang, tapi orang yang memperbaiki dan melakukan perbaikan akan dimusuhi oleh orang lain.
“Contohnya, Nabi Muhammad ketika belum jadi Nabi hampir semua orang suka, tapi semenjak diangkat jadi Rasul mulai banyak yang memusuhi,” paparnya.
Oleh karena itu, kata dia, kepada siapapun yang berjuang mendakwahkan agama. Utamanya, guru TPQ, Diniyah dan madrasah jangan gentar menghadapi tantangan dan risiko.
Selanjutnya, KH. Anwar Zahid berpesan kepada jamaah, khususnya para orang tua, agar memerhatikan pendidikan anak. Utamanya pendidikan yang mementingkan akhirat daripada dunia.
“Wasiat utama orang tua untuk anak itu dirikanlah salat, bukan perusahaan, harta dan dunia,” terangnya.
Ia menyesalkan sikap dari kebanyakan orang tua sekarang yang tidak memerhatikan salatnya anak. Bahkan beberapa malah menganggap sepele.
“Mereka lebih khawatir kalau anaknya tidak sekolah, kuliah atau ikut pelatihan. Tapi tidak khawatir kalau anaknya tidak salat. Ini yang harus kita ubah,” pintanya.(rid/adb)