Download Buletin Suara Nahdliyin Edisi Ke 7
Tahun 2018 merupakan tahun politik. 27 Juni akan menjadi hari yang menentukan, yang pada gilirannya akan lahir pemimpin-pemimpin dari proses politik yang akan dilangsungkan.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung merupakan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dijelaskan dalam UUD 1945, bahwa Gubernur, Bupat, dan Walikota masing-masing seabagai Kepala Pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokrasi (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945).
Pada 2018, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, 171 daerah yang akan melangsungkan Pilkada, termasuk Jawa Tengah (pemilihan gubernur – wakil gubernur) yang bersamaan dengan pemilihan bupat – wakil bupat di Kabupaten Kudus.
Pilkada menjadi pentng, karena itu merupakan proses politk yang mest ditempuh rakyat di sebuah negara demokrasi untuk memilih pemimpinnya. Dan politk, sebagaimana dikemukakan Aristoteles, adalah sarana mewujudkan kebaikan kebaikan bersama. Dengan kata lain, mengunakan hak suara dalam proses pemilihan saat Pilkada adalah hal yang niscaya, sebagai ikhtar mencari pemimpin ideal.
Joseph A. Schmeter, menjelaskan, demokrasi merupakan suatu perencaan instutsional untuk mencapai keputusan politk, di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompettf atas suara rakyat.
Kembali ke persoalan Pilkada, untuk konteks Jawa Tengah, dalam Pilkada 2018, KPU Provinsi Jawa Tengah telah menetapkan dua pasangan calon, sedang KPU Kabupaten Kudus menetapkan lima pasangan calon yang akan bersaing dalam kontestasi Pilkada yang pemungutan suaranya akan dilangsungkan pada 27 Juni mendatang.
Banyaknya pilihan calon, tentu rakyat mest bisa menentukan siapa terbaik. Mengetahui track record pasangan calon, menjadi hal yang sangat pentng, karenanya, di tengah para calon dan tim pemenangannya melakukan ‘gerilya politik’ untuk menarik simpati konstituen dan bisa terpilih nantnya.
Selanjutnya, gelaran Pemilu maupun Pilkada yang ada di tanah air, lazim tak bisa dilepaskan dengan isu politk uang. Kendat dalam aturan, jelas ditegaskan larangan politk uang sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 73.UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 73, menyebutkan, bahwa “Calon dan/ atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengerahui penyelenggara Pemilihan dan/ atau Pemilih”.
Politk uang (money politcs) menjadi persoalan serius, karena dampaknya sangat besar terhadap bangunan prinsip-prinsip demokrasi: suara hat terbeli demi kepentingan kekuasaan. Untuk itu, jadilah pemilih cerdas.
Tolak politk uang dengan ragam bentuknya. Pilihlah pemimpin sesuai hati nurani, dengan mencermat track record berikut visi misinya. Dan jangan gadaikan nurani hanya untuk materi yang tak seberapa, yang itu sama artinya mengorbankan demokrasi. (*)