Tahun depan, tepatnya pada Rabu, 14 Februari 2024, Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD bakal digelar. Sub tahapan Pemilu yang berlangsung saat ini, sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, sudah masuk pada tahapan pencalonan anggota DPR, DPD, DRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Partai politik yang sebagai peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD Pemilu 2024 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 di setiap tingkatan telah mendaftarkan nama-nama bakal calon anggota legislatifnya.
Begitu pula perseorangan sebagai peserta Pemilu untuk memilh anggota DPD di setiap provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, juga telah mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD di KPU provinsi.
Belakangan, meski masa kampanye belum waktunya (28 November 2023 – 10 Februari 2024), masing-masing peserta Pemilu sudah mulai tampak memainkan trik dan jurusnya untuk mendapatkan simpati publik dalam mendongkrak elektabilitasnya. Berbagai carapun dilakukan oleh peserta Pemilu melalui pemanfatan media sosial, safari ke tengah-tengah masyarakat dan bentuk aktivitas lain sebagainya.
Semua itu sah-sah saja dilakukan sepanjang tidak menabrak ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu. Namun perlu dikatahui, ada keharusan yang perlu dikedepankan oleh peserta Pemilu dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kegotongroyongan dan ke-bhinneka tunggal ika-an dalam merawat dan menjaga persatuan nasional. Bukan sebaliknya, malah memunculkan disintegrasi bangsa. Bukankah tujuan Pemilu itu mulia?
Pemilu memiliki tujuan untuk menyeleksi para pemimpin pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, dan membentuk pemerintahan yang demokratis dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sesuai Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Oleh karena itu, seluruh peserta Pemilu selayaknya berkomitmen bersama-sama mengeliminasi munculnya praktik-praktik penyimpangan politik identitas (identity politics) yang dapat merongrong dan merusak persatuan bangsa Indonesia. Meski di sisi lain, dalam konsep ilmu sosial humaniora, politik identitas dimaknai sebagai kendaraan yang mampu membawa aspirasi, tuntutan kepentingan politik dan ideologi politik, sehingga mengkapitalisasi suku, ras, bangsa, adat, gender, karakteristik geografis maupun agama yang dijadikan label propaganda.
Sebagai warga negara yang bijak, selayaknya lebih mengedepankan politik kebangsaan. Sebab, politik kebangsaan memosisikan semua kelompok, baik minoritas maupun mayoritas, pada posisi yang sama. Tujuannya, agar kedua kelompok menjadi inklusif. Berbeda dengan politik identitas yang muaranya hanya bagi sekelompok tertentu dan menuntut hak ekslusif, serta hasrat pemenuhan hak satu kelompok saja sebagai barometer dan menjadi tujuan utamanya.
Perspektif politik kebangsaan sangat mengutamakan keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di atas segalanya. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama dan setara untuk berpartisipasi di bidang politik.
Akhirnya, masyarakat sudah saatnya memahami esensi pentingnya merawat kebhinnekaan dan harmonisasi berbangsa dan bernegara, khususnya menjelang Pemilu 2024. Hindari taklid buta dalam berpolitik yang dimainkan kelompok tertentu. Saatnya masyarakat cerdas dan handarbeni terhadap suksesnya penyelenggaraan dan pengawasan Pemilu 2024 mendatang. (*)
Kasmi’an SAg MH,
Penulis adalah anggota Bawaslu Kabupaten Kudus.