Pada sekitaran Maret 2020, di Indonesia pertama kali ditemui kasus positif Corona Virus Covid-19. Saat itu, pemerintah mengumumkan sebagai kasus 01 (news.detik.com – 27-05-2021).
Pada akhirnya, itu memengaruhi kegiatan belajar mengajar (KBM). Pada medio Maret 2020, pemerintah memutuskan untuk School from Home atau sekolah yang diselenggarakan di rumah masing-masing melalui daring sebagai kebijakan terbaik (Kompas.com – 12-08-2020).
Apa itu daring? Menurut KBBI, daring adalah akronim dari dalam jaringan (KBBI V 0.4.0 Beta (40) – 2016). Yakni sebuah kegiatan yang terhubung melalui jaringan, dan memanfaatkan perangkat teknologi seperti HP atau komputer yang sudah terinstal aplikasi pendukung.
Mulanya, di Indonesia belum terbiasa menggunakan cara ini, apalagi banyak di antara mereka adalah ibu rumah tangga yang harus mendampingi anak sekolah. Semua ibu yang masih mempunyai anak sekolah dipaksa untuk melek teknologi, juga harus mempunyai media yang memadai pula. Tak ayal semua orang berbondong-bondong belajar Zoom, Google Meet, dan aplikasi serupa untuk mengatasi kegagapan teknologi (medcom.id – 19-04-2020).
Ada juga yang sekolah menerapkan belajar via WhatsApp yang memang menguras emosi dan energi para orang tua pendamping, karena salah satu di antara guru hanya menjelaskan singkat, kemudian memberikan tugas yang dikumpulkan dengan tenggat waktu tertentu. Jika ada yang tidak mengumpulkan biasanya dianggap tidak mengikuti pelajaran dengan baik.
Tak hanya itu, pemerintah juga menggandeng TVRI sebagai penyedia layanan belajar (medcom.id – 09-04-2021). Di sana ada banyak siaran dari anak usia PAUD, TK, SD, SMP, bahkan SMA. Tentu ini adalah salah satu bentuk dukungan pemerintah untuk tetap melakukan kegiatan belajar mengajar walaupun di era pandemi seperti saat ini.
Mendampingi belajar daring, khususnya bagi ibu rumah tangga, tentu memunculkan pengalaman tersendiri, baik suka maupun duka. Penulis melakukan mewawancara langsung beberapa ibu rumah tangga, tentang itu. Ada yang kesulitan, namun ada pula yang positif.
Untuk kesulitan yang dialami, ada beberapa hal. Pertama, dikejar pekerjaan domestik. Tidak semua ibu rumah tangga memakai jasa Asisten Rumah Tangga (ART). Sebagai seorang ibu yang kerjaannya di rumah, pasti tidak bisa menghindari lagi semua pekerjaan domestik, seperti memasak, mencuci, menyapu, ngepel, bahkan menyetrika.
Dengan adanya kegiatan daring bagi anak-anak di rumah, otomatis ibu akan melakukan pendampingan apalagi anak yang masih di sekolah TK atau SD. Maka agar semua pekerjaan selesai, biasanya ibu akan menyiapkan apa pun yang di perlukan besok pagi di malam harinya. Paginya, ibu akan sedikit mengurangi beban pekerjaan sebelum daring dimulai pukul 07.00.
Kedua, media yang tak memadai. Jika sebagai ibu muda yang anak baru satu mungkin tidak terlalu berlebihan jika handphone ibunya dipakai untuk belajar daring, tetapi untuk anak yang lebih dari satu, apalagi berbeda kelas, besar kemungkinan dalam satu keluarga itu kekurangan media belajar.
Ketiga, kesulitan sinyal. Untuk yang tinggal di wilayah perkotaan, persoalan sinyal tentu tidak menjadi masalah. Namun, untuk yang tinggal di daerah (pinggiran), sangat mungkin “usaha ekstra” untuk mendapatkan sinyal yang bagus untuk mengikuti zoom atau google meeting.
Keempat, emosi jiwa perbanyak sabar. Tidak bisa dimungkiri, sebagai ibu yang mempunyai beban pekerjaan yang banyak, akan merasa sangat emosi saat anak tidak bisa bekerja sama saat daring. Kondisi demikian, tentu harus memperbanyak bersabar.
Kelima, beban kelelahan yang tak terelakkan. Bagi seorang ibu yang hanya melakukan pekerjaan domestik berulang saja, sudah terasa membosankan dan lelah, apalagi ditambah dengan mendampingi anak belajar daring. Tentu, menambah lelah jiwa dan raga lantaran repot yang meningkat tajam.
Keenam, boros pulsa boros kuota. Pemborosan untuk pulsa dan kuota, tak dapat dihindari dalam mendampingi anak belajar daring. Dengan kata lain, pengeluaran di keluarga juga semakin membengkak.
Di luar dampak di atas, ada sisi positif, ternyata, adanya pembelajaran daring. Pertama, ibu pembelajar. Saat daring, ibu mau tidak mau juga harus belajar lagi dan banyak membaca. Karena hal ini akibat tuntutan ibu menjadi guru dadakan, apalagi kurikulum anak-anak dengan kurikulum ibu pada zaman dulu, pasti berbeda.
Kedua, menjadi lebih kreatif. Jika di sekolah ibu akan “terima jadi”, anak berangkat memastikan semua siap di dalam tas, kemudian tidak melupakan bekal dan uang saku di hari itu. Siang, ibu menunggu anak pulang dari sekolah. Sedang malamnya, ibu hanya memastikan anak-anak mengerjakan PR dan menyiapkan jadwal untuk besok.
Namun berbeda dengan saat belajar daring. Ibu dituntut harus bisa menanggulangi rasa kantuk, malas, juga bosan yang dikeluhkan anak-anak saat belajar. Saat di sekolah ini semua tugas guru, tetapi di rumah guru dadakan yang harus menanggulangi itu semua. Maka dari itu, ibu belajar menjadi kreatif, entah dengan permainan, teka-teki, atau kuis berhadiah.
Ketiga, rajin bangun pagi. Ibu yang biasanya akan malas-malasan dulu setelah salat Shubuh, saat sekolah daring ibu menjadi rajin bangun pagi. Entah untuk olahraga setelah melakukan kegiatan domestik, atau memang supaya pekerjaan domestik cepat selesai agar tenang mendampingi anak belajar.
Selain hal-hal positif di atas, hal lain yang muncul seiring kebijakan pembelajaran daring, khususnya bagi seorang ibu, yaitu lebih bisa mengawasi anak, semakin membangun kedekatan dengan anak, tak sedikit anak belajar membantu ibu, bahkan ada seorang ayah (suami) yang jadi lebih sering memuji ibu (istri). (*)
Ichda Zuhaida,
Penulis sedang menempuh pendidikan Pascasarjana di IAIN Kudus.