Manusia Unggul: Juty and Right

0
1683

Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM

Kita telah terlalu dalam terbius dengan mendahulukan hak ala Barat melalui “The Universal Declaration of Human Rights”, karena banyak dari kita yang tidak tahu hak-hak kita.

Arnold Toynbee, mengatakan, bahwa masalah besar manusia sejatinya ada dalam dirinya sendiri. Mau hancur atau mau jaya, tergantung seberapa orang mampu mengekuibiliriumkan potensi dirinya.

Menurut para antropolog dan psikolog, dari dimensi kemanusiaan manusia, di antaranya bisa  disebut sebagai homo sosius dan juga homo politikus. Homo sosius, ditandai dengan kebutuhan dasarnya untuk selalu mencari, membersamai dan bersinergi secara harmonis dengan keluarganya, sahabat-sahabatnya dan manusia lain sebanyak mungkin.

Kebutuhan primer yang lain seperti dikatakan Nietzsche, adalah eksistensi dirinya yang mewujud untuk menjadi orang terpandang di lingkungannya. Di sinilah intrik-intrik tentang harta, tahta (politik kekuasaan) dan wanita/ pria terlibat intens dan tak terbatas jumlah dan waktunya.

Sebagai makhluk monodualisme sejak ribuan tahun lalu, manusia  kesulitan mewujudkan mizan yang dituntut oleh Allah. (QS. 55 : 6) bagi mereka yang tanpa bimbingan wahyu. Yaitu keseimbangan antara diri sebagai makhluk fisik, material, sekaligus mental spiritual. Kesulitan untuk memizankan antara egoisme dan altruisme, sosialisme dan kapitalisme, individualisme dan komunalisme, kewajiban dan hak,  dst. Saul Ralston jatuh pada rumus pilihannya, “individualisme yang bertanggung jawab” (The Collapse of Globalism …, hlm. 45). Saya pribadi memilih “Juty and Right”, bukan “Right and Juty“.

Juty and right terinspirasi oleh bimbingan Allah yang dibaca dan dihayati paling sedikit 17 kali tiap hari, yaitu ungkapan: اياك نعبد و اياك نستعين. Artinya: Hanya kepada Engkau kami berbakti  (juty=kebaktian=kewajiban) dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan (right=hak).

Ungkapan penglayanan ini pula yang oleh Stephen Covy disebut dalam The Seven Habits of Highly Effective People-nya pada poin kedua. Orang yang berani menglayani, dari sekadar memberi minum anjing kehausan, adalah sedekah (Bukhari 2363; Muslim 2244); Orang yang berani menglayani dengan sekadar bermuka ceria terhadap orang lain (Muslim 2625); Orang yang mau menglayani dengan sekadar senyum persahabatan, adalah sedekah (Tirmidzi 1956: Ibnu Hibban 474); Orang yang berani menglayani orang dengan sekadar memberi salam adalah sedekah (Muslim 2162).

Terbukti dalam sejarah manusia, kapanpun dan di manapun, manusia yang berani menglayani itulah yang pada akhirnya “dilayani” sebagai pemimpin, meskipun niatan dasarnya bukan karena target kepemimpinan. Didahului dari keikhlasan menglayani itulah, kepemimpinan dimulai.

Seorang “alumnus” di sebuah desa di kecamatan Pageruyung, Kendal, pernah berceritera, bahwa ia menjadi kepala desa tanpa money-politics sepeserpun. Ia tidak memakai ala Indonesia yang berjiwa “Keuangan Yang Maha Kuasa”, karena jelas-jelas telah diharamkan oleh hadis (Bukhari 2286).

Di bumi ini, banyak orang yang hanya untuk menjadi kepala desa, atau bahkan ormas agama, bisa menghabiskan miliaran rupiah. Sedang ia, hanya berkat keikhlasannya menguruskan orang yang mau buat KTP, KK, Akte dan lainnya. Rupanya inilah yang sesuai dengan sabda Nabi Muhammad:سيد القوم خادمهم. Artinya: Pemimpin sebuah kaum adalah yang siap melayani mereka.

Hadis ini disebut dhaif oleh Albani, tetapi dalam faktanya tidak dapat dimungkiri kebenarannya. Hadis dhaif yang tidak untuk mengambil ketentuan -hukum apalagi akidah, jumhur ulama membolehkannya selama bukan hadis maudhu’. Apalagi jika dikaitkan dengan penglayanan Nabi Musa terhadap kedua putri Nabi Syu’aib dan pemenuhan mahar dengan kerja delapan tahun, sehingga dipandang sebagai kriteria kepatutan sebagai pemimpin (QS. 28: 26).

Demikian juga keparipurnaan menyelesaikan tugas dari Nabi Ibrahim, sehingga Allah mengangkatnya sebagai pemimpin kaliber (bertaraf) dunia (QS. 2: 124). Wallaahu a’lam bi al-Shawaab. (*)

Dr KH Muchotob Hamzah MM,

Penulis adalah Rektor Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo.

 

Comments