Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Mencintai dunia adalah naluri setiap manusia. Tak ada satupun manusia dapat melepaskan kecintaan padanya baik berupa wanita, anak, harta emas dan perak, kendaraan yang disenangi, dan lainnya. (QS.At-Taubah: 24)
Dunia yang dicintai itu, minimal sesuap nasi, seteguk air, sehelai kain dan sejengkal tanah. Kemudian isteri atau suami dan anak pinak. Cinta dunia boleh asal tidak melebihi mizan. Dan yang ini ujungnya ma’fuwwa (ampunan). Jika lebih, akan terjebak dalam mafia dan ujungnya binasa.
Kendati sesedarhana itu, tetapi umumnya berat bagi setiap insan untuk meninggalkan dunia (QS. Al-Jum’ah: 8). Banyak orang yang mendambakan hidup abadi, atau setidaknya seribu tahun (QS. Al-Baqarah: 96). Mencintai dunia yang melebihi mizan (QS. Rahman: 8) disebut hubb al-dunya atau duniamania. Dari sinilah lahirnya rasa takut berlebihan terhadap kematian.
Bahkan ilmuwan dan teknolog juga sudah mendieain teknologi cryogenic, sebagai usaha mengabadikan hidup manusia. Meski begitu, secanggih apapun teknologi kedokteran hari ini, belum dapat menghalangi malakulmaut menunaikan tugasnya (QS. As-Sajdah: 11).
Faktanya, semua kehidupan (manusia, jin, malaikat, tetumbuhan, kehèwanan), cepat atau lambat, pasti mencicipi kematian (QS. Ali Imran: 185). Perkara ada yang meronta dan menolak, tetap mati juga (QS. Al-Jum’ah: 8; Qaf: 19). Atau ada yang berserah diri (bukan bunuh diri) karena keimanannya yang mendalam, tidak jarang kita menyaksikannya (QS. Al-Fajr: 28-30; Bukhari 6026). Yaitu orang yang telah menyintai Allah, sehingga ikhlas dan rida (meninggalkan dunia untuk bertemu dengan-Nya), kemudian iapun diridhai oleh-Nya (QS. Alfajr 28).
Anehnya, masih ada saja orang yang lalai atas bimbingan Allah agar merancang kehidupan yang baik untuk dunia esok (QS.Al-Hasyr: 18), setelah datang penghancur kelezatan dunia alias kematian (At-Tirmizi: 2407). Orang terpukau dengan kelezatannya, yang oleh Nabi Muhammad disebut sebagai zahratuddunya (bunga-bunga dunia) yang melalaikan (Bukhari: 1372) dan melampau garis mizan menjadi duniamania (hubb al-dunya) dan takut mati (karahiyatulmaut). (Abu Dawud 4297).
Hubb al-Dunya sebagai Pandemi
Ketika hubb al-dunya sudah menjadi pandemi, yang seakan menggenapi nubuwwah Rasulullah, manusia bagai orang yang buang air besar di toilet. Orang lain yang merasakan baunya sudah tidak tertahankan, dianya enak nongkrong di WC sembari mengisap rokok. Jangankan peduli orang lain yang megap-megap menahan napas, dirinya malah enggan keluar dari tongkrongannya dan merasa semakin nikmat.
Dari sinilah pangkal segala mafia, yaitu pandemi hubb al-dunya. Jika penyakit hubb al-dunya telah menjadi pandemi, maka tidak ada ruang kehidupan baik soal bernegara, berpolitik, berekonomi, bersosial beriptek dan bahkan beribadah sekalipun yang bebas dari mafia.
Coba simak artikel Sukidi (Kompas, 15/12/2022) berjudul “Mafia, Negara dan Rakyat”. Ia menyontohkan ada mafia anggaran, proyek, pajak, tanah, tambang, batubara, minyak, beras, gula, daging, alat kesehatan (alkes), bantuan social (bansos), hingga peradilan dan hukum.
Jika perlu menambahi: ada lini perjuangan fi sabilillah yang dimasuki mafia, sehingga terjadi suap dan money politics, korupsi seperti pemilihan pejabat, partai dan pemilihan ormas Islam. Ada juga yang tega memafiakan ibadah haji. Dalam iptek, ada journal ilmiah tetapi abal-abal. Ada pula disertasi yang dibeli dari orang yang setelah diujikan ditumpuk dalam gudang, dan seterusnya.
Merujuk hadits riwayat via Tsauban tersebut di atas, pandemi hubb al-dunya dan karahiyatulmaut itu dinamakan penyakit “Al-Wahn”, yakni lemah lunglai (Abu Dawud 4297). Indikatornya: 1). Kuantitas oke, tetapi menjadi bancakan musuh bagai tumpeng yang dikepung orang-orang secara lahap; 2). Kualitas bagai buih banjir (penandanya: lemah dan tidak berbobot, susah disatukan, gampang pecah baik karena lemahnya kepemimpinan atau sebab lainnya). Wal-‘iyadzu billaah. Wallaahu a’lam bi al-shawaab. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Wonosobo