Saat menerima buku kumpulan Cerpen “Robohnya Surau Kami” dari sang penulis langsung, sekitar tiga bulan lalu, rasa bangga dan senang menyeruak, lantaran di tengah kesibukannya “mangku pondok”, Mohammad Mujab masih meluangkan waktunya untuk berkarya.
Mohammad Mujab, kiai muda ini, memang sangat luar biasa. Kesibukannya di tengah keluarga, bekerja dan mengasuh pondok pesantren, namun perhatiannya terhadap perkembangan literasi, sangat tinggi.
Dia pun tidak puas dengan menjadi penikmat atas karya-karya orang lain, melainkan ikut memberi warna dalam tradisi kepenulisan di tanah air. Kumpulan Cerpen ini adalah buku keduanya. Buku pertama yang diterbitkan, yaitu novel berjudul “Taman Iram” (2011).
Ada sembilan Cerpen dalam buku keduanya ini. Yaitu Robohnya Pesantren Kami yang kemudian dipilih menjadi judul buku, Bibir Seksi, Hedrosefalus, Krisis Melanda Kahyangan, Burung Onta dan Burung Pipit, Sang Saka, Misteri Kandang Emas, Minyak Wangi Bumioutera, dan Dengan Apa Menumbuhkan Cinta?
Harus diakui, kemampuan kontemplatif penulis buku ini, sangat baik. Itu bisa dilihat dari karya-karya dalam kumpulan Cerpen yang nampak diambil dari pengalaman dan realitas sosial yang terjadi di sekitarnya.
Robohnya Pesantren Kami, misalnya. Jelas ini merupakan kesaksian dirinya pribadi betapa menjadi anak seorang kiai, satu sisi merupakan berkah dan kebanggaan, namun di sisi lain, juga memunculkan tanggung jawab yang besar sebagai pewarisnya, apalagi jika kemudian dipasrahi oleh orang tua (kiai) untuk mengelola dan mengasuhnya.
Pengakuannya terhadap betapa berat mengelola pesantren tradisional, karena tidak bisa menggunakan promosi atau marketing untuk menarik seorang murid (santri) agar mau mondok, melainkan dengan kharisma atau nama besar sang kiai sendiri.
Mohammad Mujab berhasil menarasikan dengan apik realitas sosial yang ada di sekitarnya. Minyak Wangi Bumiputera, yang dalam ceritanya menyinggung soal kretek sebagai ‘kekayaan’ alam bumiputera, sudah pasti terilhami oleh banyaknya perusahaan rokok kretek di tanah kelahirannya itu: Kudus.
Cerpen Misteri Kandang Emas, mengangkat legenda sebuah desa tak jauh dari kampung halamannya. Desa itu berada di lereng Gunung Muria. Sebuah desa yang konon dijadikan tempat menyembunyikan harta kekayaan suatu kerajaan dari tempo dulu, agar selamat dari gempuran tentara penjajah.
Lantaran harta kekayaan yang disembunyikan kebanyakan adalah emas, maka desa untuk menyembunyikan harta tersebut kemudian dikenal dengan Desa Kandang Emas. Desa itu berada di wilayah Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.
Ya, narasi-narasi apik dalam karya kumpulan cerpen Mohammad Mujab ini, bisa pembaca telusuri lebih dalam dan seksama. Sebuah narasi yang dihasilkan dari perenungan panjang di bilik pesantren yang kini dia ikut menjadi pengasuh bersama sanga ayah. Selamat membaca. (*)
Rosidi,
Penulis adalah staf Humas Universitas Muria Kudus (UMK), pengurus ISNU Cabang Kudus. Pada 2006, bersama sejumlah pemerhati dan pecinta sastra di Semarang mendirikan Kampoeng Sastra Soeketteki
***
Judul Buku: Robohnya Pesantren Kami
Penyusun: Mohammad Mujab
Penerbit: Perpustakaan Mutamakkin Press
Cetakan I: Januari, 2017
Tebal: 127 + xiii
ISBN: 978-601-483-114-6