Oleh: Supriyono
Ada hal yang menarik perhatian dari gelaran Pilkada serentak 2018 yang pemungutan suaranya dilakukan pada 27 Juni lalu. Salah satu yang menjadi perbincangan publik adalah tumbangnya semua calon gubernur dan wakil gubernur yang didukung oleh partai PKS di ‘Bumi Walisongo’: Jawa.
Tidak terlalu mengejutkan, memang, apabila calon-calon yang didukung oleh partai PKS tumbang dalam Pilkada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Menguatnya sentimen anti PKS dari publik khususnya warga nahdliyyin belakangan ini, disinyalir sebagai salah satu penyebabnya.
Terlebih setelah beberapa petinggi PKS, tanpa dasar yang jelas, menyerang dan menghina Katib ‘Aam PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf. Spontan saja, gelombang ‘perlawanan’ oleh warga Nahdliyyin terhadap PKS, terjadi di mana-mana. Menyerang tokoh-tokoh dan Kiai NU itu menjadi hal yang tentu sangat tidak strategis, karena Jawa merupakan basis Nahdliyyin dan santri. Sehingga tentunya, warga NU dan kalangan santri tentu tidak akan menerima kiainya dihina dan dilecehkan.
Buntutnya, kaum sarungan, dengan semangat khidmah kiai, mengulirkan perlawanan dan membela kiainya. Tak cukup di situ, ‘perlawanan’ juga dilakukan melalui isu di berbagai media dan media sosial.
Ditilik dari faktor pelaksanaan Pilkada, terdapat perbedaan yang mencolok antara Pilkada DKI dan daerah lain di Jawa. Pilkada DKI diwarnai dengan isu SARA yang kental, politisasi agama, politik kebencian, hingga konflik horizontal yang sangat tajam. Sedang di daerah lain cukup kondusif, lancar, aman, damai, jauh dari isu SARA, politisasi agama, dan konflik.
Perbedaan tipologi sosial-keagamaan masyarakat Jawa di luar DKI, otomatis menentukan pilihan strategi yang berbeda pula. Politisasi agama yang terjadi di DKI, tidak laku di daerah lain di Jawa.
Selain faktor tipologi masyarakatnya, faktor calon juga tidak banyak ruang tembak di titik tersebut. Ini menjadikan kebingungan dan kegamangan PKS guna mengulang sukses di DKI.
Fakta di atas juga menguatkan suatu pandangan; di mana basis NU kuat, maka masyarakat semakin moderat. Maknanya, tipologi masyarakat Jawa tidak mudah dibenturkan satu dengan lainnya, yang mengarah pada konflik horizontal dengan isu SARA.
Pilkada DKI benar-benar menjadi cerminan sekaligus pelajaran bagi daerah-daerah lain, khususnya di Jawa. Pilkada DKI sejatinya telah membuka tabir ‘politik kebencian’ ala PKS yang selama ini dibungkus rapat.
Di sisi lain, kesadaran politik warga Nahdliyyin juga meningkat, ditandai dengan munculnya sikap politik kebangsaan dan memilih para calon pemimpin yang menjunjung tinggi empat pilar (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Undang – Undang Dasar 1945 dan NKRI) dan ogah memilih calon yang berafiliasi dengan Islam kanan dan pengusung (penganjur) khilafah. (*)
Supriyono,
Dosen IAIN Kudus dan Wakil Sekretaris PC. GP. Ansor Kabupaten Kudus. Penulis bisa dihubungi melalui e-mail: upri79@gmail.com