
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Rais Syuriah PBNU KH. Ahmad Bahaudin Nur Salim (Gus Baha) menerangkan beberapa ketentuan haji. Demikian itu disampaikan dalam acara Halalbihalal Majelis Madinatul Ilmi di Ponpes Darul Qur’an Nurul Abidin, Ahad (15/05/22) malam.
“Haji itu ibadah wajib bagi yang mampu, kalau ingin tidak wajib, maka miskin lah,” kelakar Gus Baha membuka kajian kitab Minhajut Tholibin itu.
Menurut Gus Baha, keterangan mampu ini lebih dimaknai sebagai kepemilikan harta. “Yang punya uang banyak meskipun fisiknya tidak mendukung tetap dihukumi mampu,” kata Gus Baha.
Ilustrasinya sederhana, imbuh Gus Baha, ketika ada seorang kaya raya tapi lumpuh. Kemudian ia jumawa dan mengatakan bisa membangun rumah gedong tingkat tujuh dengan cara membayar orang. Maka, ia juga bisa dikatakan mampu beribadah haji dengan cara membayar orang.
“Maka, berkahnya ngaji ini, semoga setelah ini memiliki niat untuk haji. Meskipun dalam kondisi lumpuh, segeralah dihajikan niyabah. Jangan ditunggu hingga meninggal baru dihajikan,” terang Gus Baha.
Lebih lanjut, Gus Baha berpendapat bahwa haji Niyabah ini lebih utama karena yang dihajikan masih ikut serta dalam pengambilan keputusan. Artinya, orang tersebut sudah ada niat untuk haji dan ikut memutuskan menggunakan hartanya untuk haji.
“Sedangkan kalau haji amanah, ada kemungkinan mayit yang dihajikan tidak ada niat untuk haji namun karena keluarganya ada kewajiban menghajikan sehingga hajinya diamanahkan,” sebut Gus Baha.
Landasan Fikih Haji Niyabah dan Amanah
Pada kesempatan itu, Gus Baha kemudian memaparkan dua landasan utama keterangan bab haji itu.
Pertama, tentang orang meninggal yang belum haji. Harus dihajikan berdasarkan riwayat buraidhah. Ketika itu ada sahabat bertanya kepada Nabi. Ya Rasulullah, ayah saya sudah meninggal, apa perlu saya hajikan? Nabi menjawab “na’am”.
“Tentu caranya yaitu dengan menyisihkan harta yang ditinggalkan, sebelum dibagi kepada ahli waris. Ini haji amanah,” paparnya.
Kedua, Imam Nawawi dalam kitab Muhadzab di Bab Niyabah mengisahkan seorang perempuan bertanya kepada Nabi. Ya Rasulullah, Bapak saya sudah sepuh sehingga tidak mampu ikut haji. Apakah perlu saya hajikan? Dijawab oleh Rasulullah “na’am”. Perempuan itu bertanya lagi, apakah haji saya akan memberi manfaat bagi Bapak saya?
“Kemudian Rasulullah menganalogikan, jika Bapak anda punya hutang lalu kamu sebagai anak membayarkan apakah diterima? Begitu pula kalau punya hutang kepada Allah (berupa haji), maka hajimu juga dapat memberi manfaat bagi Bapakmu,” jelas Gus Baha.
Gus Baha menjelaskan keterangan ini ditulis oleh Imam Bukhari sampai dua kali. Yaitu pada Bab Niyabah dan Bab Haji Al-Mar’ati ‘Anirrajuli. Menurut Gus Baha, demikian itu karena saking pentingnya pembahasan tersebut.
Adapun keterangan selengkapnya bisa disimak ulang pada Channel YouTube Abidiyah TV atau klik link berikut ini https://youtu.be/k4LD1eReC0U (rid/adb)