Menyiapkan “Hadiah” Terbaik untuk Anak

0
812
(Dok. Pribadi)

Oleh Kholidia Efining Mutiara

Suaranahdliyin.com – Tak banyak orang tua yang sadar tentang bentuk hadiah terbaik bagi anaknya. Bukan harta ataukah fasilitas fisik. Melainkan perhatian dan pembiasaan untuk merangsang kemampuan mereka dalam mengeja, menghitung dan memahami apa saja yang ada disekelilingnya.

Ya, kemampuan dasar seperti itu lah yang terkadang dilupakan oleh para orang tua. Yaitu orang-orang yang memilih pasrah kepada guru atau sekolah karena telah merasa bisa mengeluarkan biaya. Sebagian yang lainnya, karena merasa membaca adalah aktivitas yang mudah jadi tak perlu banyak ikut campur dalam proses pengajarannya.

Tidak dimungkiri, problem kesulitan membaca dan buta aksara sampai saat ini masih ada. Indonesia merupakan negara yang memiliki angka buta huruf yang tinggi. Jumlah buta aksara di Indonesia 3,56 atau 5,7 juta orang (Kemendikbud 2015 ; Jurnal Agrokreatif November 2017, Vol 3 (2): 136-142)

Awalnya saya sendiri kurang begitu percaya. Tetapi faktanya saya sendiri memang menemui beberapa kasus itu terjadi pada bimbingan belajar di rumah saya. Sebagian besar yang mengikuti les memang anak-anak yang memerlukan penanganan khusus dalam membaca tingkat dasar, mulai dari anak-anak kelas 1 -5 SD/MI. Jika dibuat interval 10 anak, 5 dari mereka tergolong tidak bisa membaca, 3 anak kurang lancar, dan hanya 2 anak yang bisa membaca secara baik.

Padahal membaca adalah jendela dunia, tanpa itu mereka ibarat orang buta yang tinggal di gubuk dan hanya dimasuki oleh sedikit cahaya. Artinya, akan sangat sulit memahami apa yang ada di sekitar mereka, memiliki keterbatasan adaptasi dengan lingkungan hidupnya dan minim harapan untuk lebih baik kedepannya. Bila sudah begitu, jangan heran bila kualitas sumber daya manusia kita semakin turun dan tidak produktif.

Menemui problem demikian, saya pun teringat pada kisah seorang anak berkebutuhan khusus bernama Hellen Adams Keller. Ia merupakan putra dari seorang ibu biasa bernama Kate Adams Keller. Hellen terlahir sebagai anak yang normal, akan tetapi hal memprihatinkan terjadi, di usia 19 bulan, ia diserang penyakit demam tinggi yang menyebabkannya buta dan tuli. Karena tidak bisa melihat dan mendengar, kemampuan berbicaranya pun terbatas. Tetapi berkat ketekunan ibu dan Gurunya bernama Anne Mansfield Sullivan, Hellen kecil dibiasakan untuk mengenali sekitarnya.

Anne Mansfield Sullivan terus mengulang-ulang kegiatan kecil seperti menuangkan air, membuat huruf di telapak tangan Hellen dan mengajaknya meraba benda di sekitar rumahnya. Rangsangan dan pembiasaan itu lah yang kemudian membuat Hellen memiliki keinginan untuk mengenal dunia melalui keterbatasannya. Hellen merasa termotivasi oleh perhatian ibunya. Ia pun yang dulunya diragukan untuk bisa membaca dan menulis, kini justru menjadi seorang penulis, aktivis politik dan dosen di Amerika.

Alasan Ketidakmampuan

Memang tak banyak ibu seperti Anne, tetapi dari kisah tersebut memberi kita jawaban bahwa ketidakmampuan hanyalah salah satu dari sekian alasan. Kunci utamanya ada pada perhatian dan pembiasaan.

Sebagaimana dalam teori behavioristik, perubahan tingkah laku merupakan tujuan utama dari sebuah upaya pendidikan. Seorang anak perlu sebuah rangsangan, baik yang berupa materi (benda) maupun immateri (baca : motivasi perilaku) agar mereka sadar dan mau memperbaiki kekurangannya.

Mereka tidak bisa diperlakukan seperti benda mati yang otomatis bisa dan memiliki kemampuan yang seragam. Masing-masing harus disetel sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan yang mereka lakukan. Keteladanan saja terkadang tak cukup karena mereka butuh rangsangan pada perasaan sehingga nyaman untuk menerima sebuah pelajaran.(*)

 

Kholidia Efining Mutiara, Pendidik di MIT Al Falah dan Pimpinan Umum RBA RARA, Mahasiswa Pascasarjana (MPI) di IAIN Kudus, bergiat di Paradigma Institute

Comments