Disiplinkan Anak Tanpa Kekerasan

0
2401

Oleh: Septianti

Setiap orang tua, pasti menginginkan anaknya tumbuh menjadi seseorang yang disiplin. Namun, banyak di antara mereka yang tidak mengerti, disiplin seperti apa yang mereka inginkan dan strategi apa yang bisa diterapkan.

The Liang Gie (1972), mendefinisikan disiplin sebagai suatu keadaan tertib, di mana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi, tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang hati.

Disiplin diartikan sebagai suatu kegiatan atau proses pengajaran, yang dilakukan tanpa paksaan oleh siapapun, untuk melaksanakan suatu tujuan yang di terima oleh masyarakat.

Membincang masalah disiplin, ada dua fenomena yang sering menjadi masalah dalam mendisiplinkan anak. Pertama, orang tua sering tidak paham terhadap perkembangan anak, baik secara fisik, psikologi maupun emosional. Misalnya, saat anak sudah bisa (mampu) naik sepeda, namun ibu melarangnya karena khawatir.

Kedua, orang tua kurang bisa mengelola emosi dengan baik. Orang tua yang marah saat anaknya tidak mengerjakan tugas sekolah, bukan berarti orang tua benci terhadap anaknya, tapi orang tua kecewa dengan dirinya sendiri, karena tidak dapat mendampingi anaknya belajar dengan baik.

Perlu dipahami, pada dasarnya semua orang tua selalu ingin mendampingi setiap perkembangan anak. Namun ada hal yang terkadang menjadi kendala untuk merealisasikannya. Di sinilah terkadang orang tua merasa kecewa dan tidak bisa mengontrol emosinya. Maka dibutuhkan strategi, bagaimana orang tua mengontrol dirinya dalam mendisiplinkan anak, tanpa menggunakan kekerasan.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, tidak menggunakan hukuman. Hukuman bukanlah cara yang efektif mendisiplinkan anak. Hukuman hanya memunculkan ketakutan anak untuk sementara waktu, dan kepatuhan yang muncul bukan dari kesadaran diri, melainkan karena keterpaksaan.

Solusinya, memberikan penjelasan pada anak tentang konsekuensi yang mereka dapat, jika melakukan atau tidak melakukan suatu pekerjaan (aktivitas). Konsekuensi akan memberikan pelajaran bagi anak. Namun perlu diingat, penjelasan tentang konsekuensi juga sewajarnya, jangan berlebihan.

Kedua, penghargaan materi (sogokan) pada anak, justru tidak memberikan motivasi. Sogokan hanya akan membuat anak ketergantungan, bukan tanggung jawab yang muncul, tapi ketergantungan akan pemberian sogokan. Padahal yang diharapkan untuk mendisiplinkan anak adalah munculnya kesadaran dan tanggung jawab.

Nah, dukungan pada anak dapat menjadi alternatif membuat anak disiplin, berbeda dengan sogokan. Sogokan hanya akan diberikan jika anak berhasil. Sedangkan dukungan muncul tidak hanya ketika anak berhasil, justru saat sulit, anak sangat butuh dukungan dari orang tua.

Misalnya, anak gagal menyusun mainan puzzle, maka yang dibutuhkan anak adalah dukungan dari orang tua. “Kerja yang bagus, Nak, walaupun belum berhasil. Suatu saat kamu pasti bisa jika terus mencobanya,” ungkapan-ungkapan yang memotivasi ini sangat penting disampaikan pada anak.

Pada akhirnya, penting disadari bersama, bahwa konsekuensi dan dukungan merupakan dua strategi, yang dapat diterapkan orang tua untuk mendisiplinkan anak tanpa kekerasan. Anak adalah makhluk yang mencari jati dirinya menuju pendewasaan diri. Sementara kekerasan, hanya akan mematikan sel-sel otak anak dalam perkembangannya.

Anak merupakan investasi terbesar untuk kemajuan suatu bangsa. Maka, pola pengasuhan yang tepat pada anak, juga harus menjadi pedoman kita dalam menciptakan generasi cerdas dan bermartabat, demi kemajuan bangsa Indonesia. (*)

Septianti,

Penulis adalah alumnus MA. NU. Muallimat Kudus, pendidik MI NU Sholahiyah Pedawang, pengurus PW IPPNU Jawa Tengah dan mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Walisongo Semarang.

Comments