
KUDUS, Suaranahdliyin.com – Di antara ciri-ciri ulama akhirat, yaitu tidak bermewah-mewahan dalam makanan dan tempat tinggal. Berusaha menjauhi berhias dengan pakaian dan lainnya, juga cenderung menerima dengan penuh rasa syukur pemberian (rizki, red) Allah, meskipun sedikit.
Demikian disampaikan KH. Masykur Mu’in dalam kajian Ramadan secara daring yang dipublikasikan melalui Channel Youtube MA NU TBS Kudus, diakses Suaranahdliyin.com, Rabu (29/4/2020).
”Namun jangan salah paham, bahwa ulama akhirat tidak boleh memakai baju yang ada bordirannya, misalnya. Atau tidak boleh memakai baju batik. Tidak begitu. Semua digantungkan, jika memakai pakaian itu ada niat-niat yang tidak baik,” katanya.
KH. Masykur Mu’in pun mengisahkan, bahwa dulu ketika Imam Hanafi hidup di tengah masyarakat dengan budayanya yang luar biasa maju, beliau suka memakai pakaian yang bagus-bagus, meskipun tiap hari belum tentu makan.
”Itu dilakukan, sebab Imam Hanafi hidup di tengah di masyarakat yang sudah maju. Orang dihormati jika penampilannya bagus. Kalau penampilannya tidak bagus, maka dalam menyampaikan agama malah akan dilecehkan (diremehkan, red). Tetapi jika (kondisi) tidak ada menuntut seperti itu, maka lebih baik yang sederhana,’’ jelasnya.
Maka yang perlu dipahami, poinnya adalah, dunia itu tidak menjadi tujuan, melainkan ad-dunya mazra’atul akhirat. Seperti dicontohkan Rasulullah. Gunung Uhud pernah menawari untuk mehjadi emas, tetapi Rasulullah tidak berkenan, dan memilih hidup sederhana,” terangnya.
Di antara ciri ulama akhirat lagi, yaitu ”tidak suka bergaul” dengan penguasa, untuk menghindari terjadinya rasa tamak. ‘’Akan tetapi jika berkumpul dengan penguasa tujuannya untuk memberi nasihat, misalnya agar penguasa bisa bertindak adil dan tidak sewenang-wenang, maka diperbolehkan (berkumpul dengan penguasa,’’ urainya.
Lebih lanjut KH. Masykur Mu’in menambahkan, ciri ulama akhirat yang lain adalah, jika diminta memutuskan sebuah hukum, tidak langsung tergesa-gesa memberikan jawaban. Ulama-ulama zaman dulu, katanya, bahkan saling melempar, yakni agar bertanya kepada ulama terlebih dahulu.
Imam Syafi’i, kata KH. Masykur Mu’in, meskipun ahli ijtihad, tetapi beliau sangat hati-hati. Dikisahkan, suatu ketika Imam Syafi’i pernah ia naik kuda, kemudian di tengah perjalanan ditanya seseorang: Hai Imam Syafi’i, kuda Anda kakinya ada berapa?
Imam Syafi’i yang sudah terbiasa hati-hati dalam menjawab masalah, tidak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Melainkan ia turun terlebih dahulu. Lalu melihat kaki kudanya, baru menjawab: kudaku kakinya yang depan ada dua, yang belakang ada dua.
”Ciri lain ulama akhirat, yaitu menghindari ilmu – ilmu yang tidak berdasar. Hanya qiila wa qaala. Juga menghindari ilmu yang hanya mementingkan perdebatan, untuk memoles kata – kata, supaya orang terkesan,” tuturnya. (ros, mail, rid, gie/ luh, adb)