Tak terasa Ramadan 1445 Hijriyah/ 2024 M telah memasuki pekan ketiga. Umat Islam pun tak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk memperbanyak ibadah di bulan suci penuh ramhat dan ampunan ini.
Dan setiap kali Ramadan dating, selalu ada cerita dan kisah-kisah berkesan yang mengharu biru, serta seru untuk ditunggu dan dijalani. Ya, selalu ada cerita indah pada saat Ramadan, dari berbuka puasa hingga sahur.
Bagi penulis, tahun ini adalah Ramadan kedua saya menjalani ibadah di tanah Rantau. Tak terasa pula sudah dua tahun saya menempuh pendidikan di Kabupaten Kudus, yakni di Pondok Prisma Quranuna dan IAIN Kudus.
Sebagai anak rantau yang jaraknya jauh dan berbeda pulau, kondisi ini adalah pilihan terbaik; berpuasa dan berlebaran jauh dari keluarga serta kerabat di kampung halaman, demi sebuah harapan dan masa depan yang lebih baik, tentunya.
Ini juga Ramadan kedua, saya tidak merasakan lezatnya takjil bersama keluarga, berbincang bersama om, tante, dan saudara di kala menunggu waktu berbuka puasa.
Kendati demikian, saya bersyukur karna masih ada teman-teman yang menemani saat membeli makanan buka puasa ala kadarnya, sahur untuk membangunkan merupakan hal yang tidak jauh berbeda dengan di kampung halaman.
Pengalaman puasa di Kudus dan di Kaimana, Papua Barat, tentu juga berbeda. Namun ada satu titik temu yang indah antara Kudus dan Kaimana, yakni tentang toleransi beragamanya, dan itu semakin nampak saat Ramadan.
Ramadan di Kudus dan Kaimana
Siapa sangka saya bisa menikmati Ramadan di Kabupaten Kudus, yang dikenal denan kota santri dan kota toleransi.
Toleransi itu antara lain tecermin dari pesan Sunan Kudus agar tidak menyembelih sapi saat Iduladha (Lebaran Kurban), yang mulanya adalah untuk menghormati masyarakat di masa dulu yang belum masuk Islam, dan menganggap sapi sebagai hewan suci.
Demikian halnya saat Ramadan. Hubungan antarumat beragama di Kudus juga aman dan damai. Bahkan saat sore, menjelang berbuka puasa, banyak warga Kudus yang menyediakan buka bersama berjualan, lintas agama ambil peran, saling sapa tanpa sekat, seperti bisa dilihat di sekitar pasar Kliwon Kudus dan Alun-alun Simpang Tujuh Kudus.
Kondisi tersebut, tak lepas dari pesan budaya Sunan Kudus terkait semangat Gusjigang, yakni bagus perilaku, pinter atau pandi ngaji dan wasis (pandai) dagang atau wirausaha. Gusjigang ini juga menjadi salah satu spirit dalam mengembangan Pesantren Prisma Quranuna, Kudus.
Tinggal di tanah Rantau, dengan penduduk mayoritas Islam seperti Kudus, tentu berbeda dengan kampung halaman saya di Kaimana, yang masuk wilayah Provinsi Papua Barat yang sebagian penduduknya non-muslim.
Tetapi itu tidak menjadi suatu masalah bagi kaum muslim di Kaimana, bahkan mereka hidup rukun, saling merangkul dan menghormati satu dengan lainnya. Mereka saling membantu agar aktivitas ibadah umat agama, bisa semarak, aman lagi damai.
Dalam pandangan saya, Ramadan adalah simbol toleransi tinggi bagi umat Islam dan Kristen di Kaimana. Bahkan semarak Ramadan dan Idulfitri di Kaimana, umat beragama menyambutnya dengan antusias.
Mereka yang umat Kristen tidak makan dan minum di depan umat Islam yang sedang berpuasa. selain itu, menjelang Lebaran, kami umat beragama saling bermaafan. Dan pada hari ketiga Lebaran, ada tradisi hadrat keliling Kota Kaimana, di mana seluruh masyarakat kota mengikutinya tanpa kecuali dan membeda-bedakan umat agama dan ras.
Sedang pertama kali di Kudus saat Ramadan, saya melihat tradisi Dandhangan, menyambut bulan suci. Pesantren Prisma Quranuna tempat saya menimba ilmu, juga rutin melakukan ziarah menjelang Ramadan ke makam Sunan Kudus, sehingga saya bisa ikut merasakan tradisi Dandhangan yang selalu ditunggu Masyarakat.
Aha, saat melihat tradisi Dandhangan, satu yang menarik adalah banyak sekali kuliner tradisonal yang dijajakan, juga mainan.
Dan yang terpenting dari semuanya, Ramadan di tanah rantau mengajarkan saya selalu bersyukur dalam keadaan apapun, dan melatih kemandirian. Selain itu, saya harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan bergaul dengan teman-teman sekitar, untuk membangun kebersamaan dan persaudaraan.
Di Kudus, semangat toleransi juga sangat luar biasa. Saling tepa selira (saling pengertian), yang dalam kultur di Kaimana dikenal dengan satu tungku tiga batu.
Tungku merupakan simbol dari kehidupan. Sedangkan tiga batu adalah simbol dari Kau, Saya dan Dia yang menghubungkan perbedaan baik agama, suku dan status sosial dalam satu wadah persaudaraan.
Subhanallah. Indahnya Ramadan. Indahnya persaudaran dalam perbedaan. Indahnya toleransi yang saya pahami dari dua kultur dua kota yang berjauhan; Kudus dan Kaimana di Papua. Wallahu a’lam. (*)
Fitria Rahmawati Wireu,
Santriyah Ma’had Prisma Quranuna Kudus dan mahasiswa Program Studi (Prodi) Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam (FDKI) IAIN Kudus.