Oleh: Supriyono
Sejujurnya saya secara pribadi kurang sreg dengan istilah “Pesta Demokrasi”. Istilah pesta demokrasi memiliki konotasi negatif. Konotasi negatifnya yaitu demokrasi sebagai implementasi kedaulatan rakyat, pada akhirnya hanya menjadi pesta ‘jual beli suara’ antara rakyat dengan calon pejabat.
Praktik jual beli suara atau money politik, dalam pesta demokrasi lima tahunan, telah menggurita di masyarakat sedemikian hebatnya. Praktik money politik sudah mengakar kuat dan membudaya di tengah-tengah kehidupan politik bangsa. Kemasan bahasanya pun semakin beragam, mulai dari hadiah, sedekah, uang transport, sampai ganti upah tidak kerja sehari.
Parahnya lagi, money politik dengan beragam bahasa penghalusnya, terjadi begitu massifnya, dan selalu terjadi pada setiap kontestasi politik lima tahunan. Seakan hal tersebut membenarkan bahwa pesta demokrasi benar-benar sudah menjadi “pesta sehari” bagi rakyat.
Maknanya bahwa rakyat berpesta menjadi “Penguasa sehari” selama lima tahun sekali atas suara mereka. Rakyat menjadi berdaulat selama sehari atas suara mereka, sebelum akhirnya suara tersebut “terbeli” oleh calon penguasa. Rakyat berpesta karena mendapatkan “uang tebusan” dari calon penguasa sebagai ganti kedaulatan yang mereka gadaikan, meskipun dengan ganti yang hanya atau bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari.
Hal ini tentu menjadi problem serius bangsa. Rakyat dalam posisi yang dilematis. Mereka harus menanggung beban atas pilihan politiknya. Mereka tidak banyak pilihan untuk menentukan kuasa dan kedaulatan yang mereka miliki, sebagai akibat dari praktik money politik yang menjadi “lingkaran setan”. Rakyat berpikir pragtis, pragmatis, dan apatis atas siapa yang akan berkuasa nantinya, bahwa siapapun yang berkuasa mereka akan memperkaya diri dan lupa dengan janji-janjinya.
Pada sisi yang lain, calon penguasa mengahalkan berbagai cara, untuk mendapatkan kuasa dari rakyat. Mereka berhitung dengan kalkulasi ekonomi atas apa yang mereka korbankan untuk meraih kekuasaan.
Bagaikan gayung bersambut antara rakyat dan penguasa, keduanya melakukan transaksi politik dengan sudut pandang dan perspektinya masing-masing. Keduanya sama-sama berpijak pada teori jual beli. Lagi-lagi rakyat yang harus menderita dan tidak berdaya.
Oleh karenanya, harus ada dukungan semua pihak untuk memutus mata rantai lingkaran setan yang ada. Perlunya edukasi politik yang sehat bagi semua pihak secara terus menerus, dengan berbagai instrumen regulasi pemilu, sistem politik, stabilitas ekonomi, hukum, kesadaran, serta tanggung jawab bersama demi mewujudkan cita-cita bangsa.
*) Supriyono, Dosen IAIN Kudus dan wakil sekretaris PC GP Ansor Kudus