SEMARANG, Suaranahdliyin.com – Peringatan haul XV KH. M. Mukhlisin digelar bertepatan dengan awal tahun 1441 hijriyyah dan haflah khatmil quraan yang digelar Pondok Pesantren Al-Uswah XIX.
Pada kesempatan itu, khatimin sebanyak tujuh santri, yakni Hendro, Muhammad Jasson Syach Maulana, Difanni Ramadhana, Rendy Danu Ibrahim, Muhammad Nabeel Artajasa, Ersa Agus Setiawan dan Fardhani Lutfian.
Sedang khatimamat ada 11 santriyah, yaitu Sarah Sabrina Raturani, Ulin Nikmah, Alifya Aprilia, Shofiatul Aulia Primanggita, Fadhila Arsyada, Ihda Lutgia Millatun Nafiah, Tania Naswa Azahra, Naswa Nisrina, Aurel Aprilia Putri Kusuma Gandawati, Devita Ayu Fatmasari serta Wahyu Yulinar Lestari.
KH. M. Mukhlisin merupakan pendiri Pesantren Al-Uswah, yang kini kepemimpinannya diteruskan oleh putera pertamanya, KH. M. Thoyyib Farchany. Pondok tersebut kini menaungi pondok pesantren putra-putri, Taman Pendidikan al-Quran (TPQ), SMP, SMA, Madrasah Diniyah, Majelis Taklim, dan koperasi pondok pesantren.
KH. M. Thoyyib Farchany, dalam sambutannya, mengingatkan pentingnya mendidik generasi muda. Dikatakannya, ada hubungan yang kuat antara orang tua dan anak agar menjadikan diri kita mulia. Kita menjadi manusia tak bisa instan tanpa dukungan orang tua.
‘’Terdapat nasib yang kita usahakan agar menjadi baik. Pun bila kita sudah memiliki nasab yang baik, harus terus dipertahankan. Menjadikan nasab yang baik dengan cara mendoakan kedua orang tua, agar nasib kita menjadi baik,” papar abah Thoyyib.
KH. Abdur Rohim Al-Muhsin, dalam tausiyahnya mengajak santri dan masyarakat yang hadir, supaya momentum peringatan haul KH. Mukhlisin ini untuk menjadi orang yang pinter dan bener. Kiai Mukhlisin dengan dakwahnya semasa beliau hidup, menjadi “tabungan” ketika yang disampaikannya menjadi pegangan dan dikerjakan umat.
“Selain itu, momentum haul itu bisa mengingatkan kita pada kematian. Siap atau tidak, berani atau tidak, (kita) pasti mati,” terang ketua Jam’iyyatul Muballighin Kota Semarang tersebut.
Ditambahkannya, melalui haul KH. M. Mukhlisin, semoga kita bisa menjadi orang yang dikenang kebaikan ketika meninggal. ‘’Bagi orang baik, mati dalam Bahasa Jawa terkandung makna ‘nikmate ganti’. Yakni kebaikan selama hidup, akan dinikmati di alam kubur. Sedang bagi orang berkelakuan buruk, mata dalam Bahasa Jawa mati itu bongko; diobong ning neraka (dibakar di neraka),’’ jelasnya. (zul/ ros, adb, rid)