Oleh: Achmad Fakhrudin
Tak terasa, Ramadan 1439 H akan berlalu. Bulan yang selalu dinantikan umat Islam seluruh jagad, akan meninggalkan kita semua tak lama lagi. Doa-doa pun terselip selalu dipanjatkan umat muslim kepada Sang Khaliq, agar senantiasa diberikan rahmat serta hidayah serta umur berkah, supaya bisa berjumpa lagi dengan Ramadan-ramadan berikutnya. Dan Idul Fitri, kini sudah di depan mata.
Mengulas Ramadan sama halnya dengan masuk dalam surga, memandang surga yang ada di depan mata, sehingga, senantiasa dengan cara apapun surga yang ada di depan mata itu, seolah kita sudah memasukinya.
Nikmat, iya begitulah kiranya, Ramadan ialah nikmat yang berbeda dengan bulan-bulan lainya. Di mana Tuhan menunjukkan Maha Pemurah-Nya, melimpahkan rahmat yang begitu melimpah-ruah.
Dengan adanya Ramadan, surau-surau, dan masjid-masjid kian ramai dengan berbagai kegiatan keagamaan, mendekatkan diri kepada-Nya, ber-tafakkur memperbaiki kualitas frekuensi keimananya.
Ramadan, di dalamnya terdapat hari-hari istimewa, Nuzulul Quran dan Lailatul Qadar, adalah di antaranya. Sedang Ramadan sendiri, telah menawarkan limpahan rahmat. “Apakah ada rahmat yang teristimewa selain ampunan-Nya?”
Dan ampunan yang begitu banyak, Allah SWT memberi ‘diskon’ yang begitu besar pada makhluknya, salah satunya berada pada Ramadan. Gus Mus dalam dalam buku ‘’Kompensasi’’ (2010) karyanya, menulis, Ramadan awalnya ialah rahmat, pertengahannya pengampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.
Idul Fitri
Indonesia memiliki tradisi yang begitu unik, berbeda dengan tradisi-tradisi yang tak kita jumpai dikebanyakan Negara muslim lain. Mempererat tali silaturrahim dengan sesama, berkunjung dan bermaafan tatkala Idul Fitri tiba.
Kendati tradisi itu juga sedikit luntur dengan adanya kecanggihan teknologi informasi; semua orang dapat mengucapkan minal aidzin wal faizin hanya dengan mengirimkan kartu lebaran lewat pos atau sejenisnya, hingga melalui pesan singkat melalui SMS dan juga melalui WhatsApp.
Ada yang perlu digali dari Idul Fitri dengan tradisi silaturrahim itu. Yakni jutaan manusia berlalu-lalang. Kita dapat menyaksikan mereka mengantre tiket baik jalur darat, laut maupun udara untuk mudik. Media massa pun tak kalah sibuk, memberi porsi liputan yang sangat besar pada arus mudi. Posko-posko mudik untuk sekadar beristirahat para pemudik, juga banyak didirikan, baik oleh pemerintah maupun relawan.
Bagi orang awam yang kebetulan mudik, mudik dimaknai dengan momen berkumpulnya dengan keluarga, dan Idul Fitri sebagai jembatan mereka untuk bisa berkumpul dengan sanak-famili, yang dari jauh wajib meluangkan waktu untuk pulang ke kampung halamanya.
Namun, hal itu ialah sisi lain yang sering kita jumpai. Lalu apa, mengenai makna yang dapat kita temukan pada Idul Fitri?
Tentu kita sering mendengar istilah habl min Allah dan habl min al-naas. Terkait habl min Allah, Allah SWT Rahman dan Rahiim, juga Al-Ghofur (Maha Pengampun). Di sinalah Dzat yang Maha Kuasa menampakkan sifat Al-Basith-Nya (Maha Lapang), jika kita melakukan dosa baik kecil maupun besar, Tuhan pasti memaafkan dosa makhluknya, dengan ketentuan benar-benar bertaubat maka Allah SWT menghapus dosa hambanya.
Jika dosa dengan Tuhan kita bisa memohon ampunan dan bertaubat dengan istighfar dan bersujud pada-Nya dengan sungguh-sungguh, misalnya. Akan tetapi, tidak dengan manusia. Setitik kesalahan yang diperbuat akan selalu terkenang dan selalu diingat.
Maka bertepatan dengan momentum Idul Fitri, berbagai hal terkait huququl adami,dalam hal berhubungan dengan masyarakat, dalam seserawungan atau berinteraksi, jika ada kesalahan, dimanfaatkan untuk saling memaafkan. Selamat Idul Fitri 1439 H, semoga kita benar-benar menjadi pribadi yang fitri. Amin. (*)
Achmad Fakhrudin,
Penulis adalah pendidik di KB Al-Azhar Jekulo Kudus, kader muda NU Desa Jepang Mejobo dan bergiat di Gubug Literasi Tansaro.