SEMARANG, Suaranahdliyin.com – Hasil penelitian tentang “Religious Extremism and Education: Do Schools Make A Difference?” dari Australia-Indonesia Center (AIC), menyatakan, gap antarsekolah mainstream dan network terdapat jarak yang cukup renggang.
Itu ditandai dengan keterbukaan-ketertutupan, integrasi-separasi dalam hal pendidikan, identitas campur-murni dan fokus pada komunalitas-keragaman berbagai macam varian dari 20 sekolah yang dijadikan obyek penelitian.
Penelitian yang melibatkan para peneliti dari UIN Walisongo Semarang, UGM Yogyakarta dan Monash University ini fokus di Kota Semarang dan wilayah Soloraya. Sedang pemaparan hasil penelitian, Rabu (21/2/2018) kemarin, dilangsungkan di Gedung Rektorat UIN Walisongo.
Nampak hadir antara lain Kevin Evans (Indonesia Director AIC), para peneliti, akademisi, perwakilan NU, Muhammadiyyah, dan perwakilan kepala sekolah yang dijadikan obyek penelitian.
Riset ini dilatarbelakangi oleh kenyataan, bahwa Indonesia menempati rangking 42 dari 163 negara (Global Terrorism Index: 2017). Ini menunjukkan, Indonesia masuk daftar negara yang menjadi perhatian.
Penelitian ini tak membedakan latar belakang dari sekolah, akan tetapi berdasar enam indikator yang dibuat. Yaitu otoritas sekolah, sanksi (hukuman), pola perintah, hafalan, infrastruktur dan kebijakan lingkungan.
Dari pemetaan yang dilakukan, muncul temuan-temuan di luar ekspektasi peneliti. Sekolah moderat yang mestinya mengajarkan nilai-nilai toleransi, ternyata masih ada yang mengimlementasikan prinsip-prinsip ketidakberagaman.
Prof. Dr. H. Imam Taufiq M.Ag, guru besar UIN Walisongo, mengutarakan, peran kampus tempatnya mengabdi menjunjung tinggi moderatisme, namun ia juga mengakui masih banyak perkerjaan yang harus dilakukan.
UIN Walisongo pun sedang menjajaki kerja sama dengan pihak-pihak lain untuk menguatkan moderasi di sekolah-sekolah. “Kita akan mengampanyekan secara massif gerakan moderatisme ini,” tegasnya.
Wakil Ketua PWNU Jateng, Dr. H. Najahan Musyaffa’, mengatakan, bahwa semua elemen lembaga dan Badan Otonom (Banom) NU harus bergerak. LP. Ma’arif harus memperhatikan pendidikan yang terkoordinasi dengannya, Lembaga Dakwah dengan penyebaran dai yang menyejukkan dan berbagai bidang sesuai dengan kapasitasnya.
“Intinya adalah mengisi kekosongan (gap) dengan ajaran yang rahmatan li al-alamin, menyebarkan kedamaian dan menjunjung tinggi prinsip pluralitas (keberagaman),” tuturnya. (zul/ adb, ros)