Resolusi PBNU Terkait Demokrasi dan Menangkal Radikalisme

0
914
  • Dari Muhasabah 2017 & Resolusi Kebangsaan 2018 PBNU (Bagian 1)

JAKARTA, Suaranahdliyin.com – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengajak seluruh komponen bangsa melakukan muhâsabah (refleksi dan interospeksi), sebagai bekal menyongsong hari esok yang lebih baik. Ada empat hal yang menjadi poin penting Muhasabah 2017 & Resolusi Kebangsaan 2018 PBNU ini.

Pertama, politik dan demokrasi. PBNU mengakui dan menegaskan, demokrasi adalah pilihan terbaik sebagai sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang majemuk. Mekanisme dan kelembagaan demokrasi telah berjalan, dan sampai ke titik yang tak bisa mundur lagi (point of no return).

Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, begitu juga Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati, dan Walikota-Wakil Walikota. Tidak ada lagi wakil rakyat, baik DPR maupun DPD, yang duduk di parlemen dengan cara diangkat. Semuanya dipilih langsung oleh rakyat. Representasi rakyat ini pula yang kelak meloloskan jabatan-jabatan publik lain, baik di cabang kekuasaan eksekutif maupun yudikatif. Namun,

PBNU mencatat, mekanisme demokrasi ini telah menghasilkan dua ekses yang merusak demokrasi, yaitu politik uang dan SARA. Keduanya adalah bentuk kejahatan yang terbukti bukan hanya menodai demokrasi, tetapi mengancam Pancasila dan NKRI.

Jika politik uang merusak legitimasi, politik SARA merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial yang mengoyak anyaman kebangsaan yang telah susah payah dirajut oleh para pendiri bangsa. Pergelaran Pilkada DKI Jakarta 2017, masih menyisakan noktah hitam, bahwa perebutan kekuasaan politik dapat menghalalkan segala cara yang merusak demokrasi dan menggerogoti pilar-pilar NKRI.

Pengalaman ini harus menjadi bahan refleksi untuk mawas diri. Demokrasi harus difilter dari ekses-ekses negatif, melalui literasi sosial dan penegakan hukum. Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan demokrasi yang sehat tanpa politik uang dan sentimen primordial.

Kedua, menangkal radikalisme. Islam adalah agama mulia, agama suci. Karena itu, Islam harus dibela dan diperjuangkan dengan cara-cara yang mulia pula. Sabda Nabi Muhammad: Barang siapa hendak mengajak kebaikan, maka ajaklah dengan cara yang baik pula. Itu juga pula dalam Surat Al-Baqarah: 143, bahwa Allah SWT. menghendaki umat Islam menjadi umat moderat (ummatan wasthan).

Islam Nusantara adalah ikhtiar menjelmakan moderatisme (tawassuthiyah) dalam politik, ekonomi, dan sosial budya. Islam Nusantara merupakan moderasi Islam dan keindonesiaan, sebagai aktualisasi konsep ummatan wasathan. Manifestasi Islam Nusantara, kini tengah menghadapi tantangan menguatnya ideologi ekstremisme dan radikalisme di berbagai dunia, termasuk di Indonesia.

PBNU bersyukur, tahun 2017, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang mencoreng Islam dan melumat sejumlah negara Islam di Timur Tengah dan Afrika, berhasil dilumpuhkan. ISIS berhasil diusir dari Mosul (Irak) pada 21 Juni 2017 dan dari Raqqa (Suriah) pada 17 Oktober 2017.

Pada 9 Desember 2017, Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi, mengumumkan bahwa perang melawan ISIS telah dinyatakan usai. Jaringan mereka mencoba mencari basis di Asia Tenggara, melalui Filipina, namun sebenarnya mengincar Indonesia.

Meski makan waktu cukup lama, sekitar 154 hari dan menelan banyak korban jiwa, pada 23 Oktober 2017, otoritas Filipina mengumumkan berhasil melumpuhkan pemberontakan Marawi oleh kelompok afiliasi ISIS, Maute dan Abu Sayyaf.

Dalam rangka mengantisipasi ideologi Khilâfah alá ISIS yang terbukti memorakporandakan sejumlah negara, PBNU dapat memahami dan mendukung kebijakan Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, yang diikuti dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung gerakan Khilâfah.

Namun begitu, PBNU menghimbau penyempurnaan Undang-Undang Ormas agar upaya memberantas gerakan anti-NKRI dan Pancasila, tidak menghalangi hak setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi. PBNU melihat, proses pembubaran ormas tetap perlu mekanisme peradilan agar setiap orang dan kelompok dapat membela diri dalam sebuah majelis terhormat.

Yang lebih penting dari penerbitan Perppu Ormas dan pembubaran HTI, adalah menangkal ideologi radikalisme melalui gerakan terstruktur, massif, dan komprehensif melibatkan berbagai aspek: politik, keamanan, kultural, sosial-ekonomi, dan agama.

Faktor agama menyumbang radikalisme melalui pemahaman bahwa Islam menuntut institusionalisasi politik melalui negara Islam atau Khilâfah Islâmiyah. Ajaran ini akan membuat orang Islam di mana pun untuk berontak terhadap kekuasaan yang sah, meski kekuasaan itu tidak menghalangi bahkan memfasilitasi pelaksanaan ibadah seperti salat, puasa, zakat, dan haji.

Ideologi pemberontakan ini menghalalkan kekerasan yang bisa mewujud nyata jika kondisi politik dan kekuatannya memungkinkan. Pemerintah perlu bersikap dan bertindak tegas mengatasi persoalan radikalisme, dengan tetap mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan ketahanan lingkungan berbasis keluarga.

Kementerian Agama perlu mengambil peran lebih aktif sebagai leading sector dalam penanganan radikalisme agama, terutama mengembangkan wawasan keagamaan yang nasionalis melalui pembobotan kurikulum, peningkatan kapasitas tenaga pendidik, dan pengelolaan program strategis seperti bidik misi dan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan).

Peran UKPPIP (Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila) perlu juga dioptimalkan, dalam pemantapan ideologi Pancasila di lingkungan aparatur sipil negara (ASN), kementerian dan lembaga-lembaga negara (K/L), BUMN, dan TNI/Polri. (rls/ ros)

 

Comments