Pendidikan dan Kearifan Lokal

0
1913

Oleh: Yaumis Salam

Tak akan ada yang membantah, pendidikan merupakan instrumen penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi secara tegas disebutkan, tujuan pendidikan Indonesia antara lain untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, berakhlak mulia, kreatif, dan mandiri.

Jika mengacu pada tujuan pendidikan nasional, Indonesia mestinya menjadi negara besar dalam lintasan peradaban dunia. Mengingat keragaman suku, bahasa, alam, dan budaya serta kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan kearifan lokal.

Hal yang terakhir disebutm kearifan lokal, bahwa sangat penting posisinya untuk memberi warna dalam pendidikan. Namun, kesadaran untuk memanfaatkan kearifan lokal dalam pendidikan nasional, belum lagi maksimal.

Alih-alih memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal dalam pendidikan, sebagian besar anak-anak dan remaja di negara ini, waktunya seakan habis dan terlalu disibukkan mengakses internet melalui ponsel pintar yang dimiliki.

Pengetahuan para remaja atau generasi muda saat ini, diakui atau tidak, juga sangat minim. Nilai-nilai lokal dan khazanah budaya, terabaikan. Dalam hal asal usul kampung sendiri pun, tidak banyak yang paham. Padahal, banyak nilai-nilai yang bisa digali dan diteladani dalam sejarah lokal, jika mau memahaminya.

Padahal, para pendahulu bangsa ini, demikian menghargai nilai-nilai lokal bangsa. Ki Hajar Dewantara, misalnya. Bapak Pendidikan Nasional mengajarkan nilai-nilai seperti ‘semua orang adalah guru’ dan ‘semua tempat adalah sekolah’. Ini terkandung makna, pendidikan (belajar) tidak sekadar di lembaga formasl an-sich, melainkan bisa dilakukan di mana saja, kepada siapa saja dan kapan saja.

Mari kita coba berkaca lebih jauh dengan meneladani nilai-nilai yang diajarkan Raden Umar Said (Sunan Muria). Melalui tembang Sinom dan Kinanti yang diciptakannya, anggota Walisongo ini mengajarkan kebaikan dan melakukan dakwah kepada masyarakat sekitar Gunung Muria.

Podho gulangen ing kalbu/ ing sasmito amrih lantip/ aja pijer mangan nendra/ kaprawiran den kaesti/ pasunen sarironiro/ sudanen dhahar lan guling//

Tembang di atas memiliki arti: “Latihlah diri dan hati, meraih wahyu atau ilham agar cerdas, jangan cuma bermalas-malasan, kecakapan harus dimiliki, siapkan jiwa dan raga, kurangilah makan dan tidur’’. (kompas.com, 18/09/2010).

Nilai-nilai dan kearifan lokal sebagaimana ditemukan dalam bait-bait tembang ‘gubahan’ Sunan Muria, ini sangat penting diinternalisasikan dalam sanubari generasi bangsa. Dan tentunya, pendidik juga harus memahami nilai-nilai seperti ini.

Ya, begitu banyak nilai-nilai luhur bangsa dan kearifan lokal yang bisa menjadi bahan atau materi pembelajaran yang positif bagi anak-anak di negeri ini. Tinggal bagaimana nilai-nilai itu digali, disampaikan kepada para generasi bangsa dan masyarakat secara umum, yang pada gilirannya diharapkan akan memberi dampak positif bagi pembangunan masyarakat dan bangsa. (*)

Yaumis Salam,

Penulis adalah jurnalis Suara Nahdliyin dan mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Jurusan Tarbiyah, STAIN Kudus.

 

Comments