Kerajinan yang tenun Troso di Kabupaten Jepara, merupakan “warisan” turun temurun dari nenek moyang. Namun diakui atau tidak, masih banyak masyarakat, bahkan warga Kabupaten Jepara sendiri, yang belum tahu mengenai nilai sejarah dari kerajinan tersebut.
Padahal, nilai sejarah yang ada dalam kerajinan itu, sepatutnya diketahui, agar kelak warisan budaya tersebut tidak sekadar menjadi tradisi yang tidak diketahui nilai dan keistimewaannya.
Untuk diketahui, tenun ikat Troso sering dipakai dalam acara-acara khusus antara lain acara syukuran kelahiran, pernikahan, dan pengambilan gelar. Namun kini, kain tenun ini dipakai tidak hanya untuk upacara-upacara khusus, sehingga terbuka peluang untuk mengembangkan produksinya, semakin lebar.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara juga sudah menampakkan komitmennya untuk mendukung pengembangan tenun Troso, seperti adanya motif hujan gerimis yang dijadikan baju adat Kabupaten Jepara, dan kemudian motif ini wajib dipakai oleh pegawai di lingkungan Pemkab Jepara.
Untuk diketahui, kerajinan tenun Troso yang sentralnya berada di Desa Troso, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara ini dibuat secara tradisional menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Motif dan coraknya juga sangat beragam.
Penulis belum berhasil mendapatkan data yang valid mengenai kapan tepatnya industri tenun di Desa Troso ini dimulai. Namun masyarakat meyakini, bahwa tenun Troso sudah ada sejak ratusan tahun lalu, dengan teknik dan keterampilan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Teknik pembuatan tenun terutama tenun Troso, umumnya menggunakan bahan atau alat seperti benang katun, sutra, rayon, tali rafia, dan zat pewarna. Tenun Troso menggunakan perpaduan warna-warna cerah dan motifnya yang tidak ramai, sangat cocok dikenakan dalam segala suasana, baik formal maupun non formal.
Sebenarnya, tenun Troso merupakan usaha tenun gedok, yang kemudian dalam jangka yang cukup panjang, berkembang menjadi tenun ikat. Masyarakat luas kemudian mengenalnya dengan sebutan “Tenun Troso”.
Pada mulanya, usaha tenun Troso ini merupakan kegiatan sampingan masyarakat Desa Troso. Namun seiring perkembangan zaman, berkembang menjadi industri yang berkontribusi positif dalam peningkatan ekonomi masyarakat. Motif yang dihasilkan antara lain motif cemara, motif daun talas (lompong) dan juga motif hujan gerimis.
Untuk motif cemara dan motif daun talas (lompong), sudah sangat dikenal masyarakat setempat. Namun kini motif-motif itu sudah jarang dibuat, lantaran banyak motif kontemporer bermunculan. Pertama, motif-motif kontemporer yang muncul rerata mengikuti selera pasar; Kedua, motif dikembangkan mendasarkan pada filosofi dari kearifan local yang digali.
Dilihat dari aspek sejarah, tenun Troso cukup unik, lantaran bermula dari tradisi menenun sebuah keluarga, yang pada gilirannya meluas sehingga bisa memengaruhi satu desa untuk ramai-ramai mengembangkannya.
Salah satu sumber menjelaskan, kerajinan tenun Troso diperkirakan mulai berkembang di Desa Troso pada masa kerajaan Mataram Islam sekira 1800 M. Awalnya, kain tenun tersebut dibuat sebagai sembilan pelengkap kebutuhan sandang. Pertama kali dibuat oleh Mbah Senu dan Nyi Senu, yang hasil tenun buatannya dipakai pertama kali untuk sowan kepada Mbah Datuk Gunardi Singorojo, ulama besar yang melakukan dakwah di Desa Troso.
Beberapa lembaga mengamini kajian tersebut, setelah melakukan studi serupa, antara lain Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Troso dan ISNU Community. Informasi penting dari penelitian yang dilakukan, bahwa Mbah Senu diketahui merupakan salah satu keturunan dari Kanjeng Sunan Muria yang nama lengkapnya adalah Isnu Hidayat. Itu dibuktikan dengan adanya catatan dalam buku Poestoko Darah Agoeng karya Raden Darmowasito Kudus.
Dalam buku itu disebutkan, Isnu Hidayat merupakan keturunan ke-14 Kanjeng Sunan Muria dari keturunan Raden Priyo Kusumo. Mbah Senu belajar agama kepada Syaikh Banjar, dan setelahnya kembali ke Muria, yang kemudian mendapatkan amanah dari Kasepuhan Muria untuk meneruskan perjuangan Walisongo di Keling.
Sumber lain menyebutkan, sosok Mbah Senu terkait erat dengan Desa Watu Aji dan Desa Jlegong. Berdasarkan jejak sejarah yang masih ada hingga sekarang, di dua desa itu, Mbah Senu dianggap memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di sana.
Mbah Senu juga diketahui teman seperguruan Mbah Sawur, cikal bakal Desa Jlegong. Di des aini, Mbah Senu dikenal dengan Syaikh Abdurrahman. Mbah Sawur dan Mbah Senu pun bekerja sama menyebarkan Islam. Namun perjuangan itu tidaklah ringan, karena masih banyak warga yang waktu itu belum menerima ajaran Islam. Akhirnya Mbah Senu melanjutkan perjalanan ke Troso, dan melakukan dakwah di desa tersebut.
Di Desa Troso, Mbah Senu bertemu dengan Mbah Datuk Gurnadi Singorojo, yang sudah lebih dulu mensyiarkan Islam. Mbah Senu hidup bermasyarakat di Desa Troso dengan menyebarkan ajaran-ajaran Islam, mengajarkan ilmu kanuragan (bela diri), serta mengajarkan keterampilan menenun kain.
Waktu berlanjut, Mbah Datuk Gurnadi Singorojo pun menunjuk Mbah Senu meneruskan perjuangannya melakukan dakwah Islam. Mbah Datuk Gurnadi Singorojo kemudian membangun masjid Datuk Ampel, yang masyarakat setempat akrab menyebut sebagai Masjid Wali. Setelah masjid itu berdiri, Mbah Datuk Gurnadi Singorojo meneruskan syiar Islam ke Singaraja, Mayong.
Mbah Senu dan ulama lain seperti Mbah Tarso Abdillah dan Mbah Kasrowi, bekerja sama menyebarkan Islam di Desa Troso. Lalu Mbah Senu dijodohkan dengan puteri Mbah Tarso Abdillah; Siti Badriyah (Siti Maesaroh).
Mbah Senu dan Siti Maesaroh hidup bersama di Desa Troso dengan mengembangkan keterampilan yang didapatkannya dari Syaikh Banjar, yaitu membuat tenun Gendong atau Gedhok, yang kini lebih dikenal dengan sebutan tenun ikat. Mbah Senu dan dimakamkan di pemakaman umum Desa Troso, kompleks makam Dhowo atau disebelah selatan kompleks pemakaman umum Nogosari.
Perlu Diferensiasi
Secara filosofi, banyak motif tenun Troso yang tidak memiliki makna dan ciri khusus. Karena beberapa motif hasil produksi tenun Troso, tidak asli dari Desa Troso seperti motif geometris dan motif tumbuhan.
Motif-motif itu merupakan gambar yang diadopsi dari motif tenun ikat daerah lain. Tenun ikat merupakan kerajinan yang dikembangkan dengan mengadopsi dari daerah-daerah seperti Bali, Sumba, dan Flores. Motif yang dibuat juga mengadopsi dan memodifikasi motif-motif dari daerah-daerah Indonesia Timur. Maka tak ada filosofi atau ciri khas tertentu baik dari daerah Troso dan Jepara secara umum. Itu menimbulkan kerugian, karena tenun Troso tidak memiliki identitas yang dapat dikenal oleh masyarakat luas.
Motif tenun Troso yang beragam dari berbagai daerah, ini menggambarkan wawasan Nusantara seperti motif Kalimantan dan Papua yang bisa digantung di dinding. Kain tenun Troso dikenal dengan pola dan motif unik yang dijalin dengan rumit ke dalam kain. Motif-motif ini tidak hanya menarik secara estetika, juga memiliki makna budaya. Sebab, setiap motif mewakili aspek tertentu dari tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat.
Dulu banyak masyarakat Desa Troso yang pergi merantau ke Bali, dan saat mereka pulang ke Desa Troso membawa kain tenun motif khas Bali dan daerah-daerah di sekitarnya. Kemudian para pengrajin di Desa Troso memodifikasinya dan diterapkan pada kain tenun troso. Sehingga motif yang sering muncul pada tenun Troso adalah motif geometris, motif flora, fauna, dan makhluk hidup serta motif abstrak kontemporer.
Pokdarwis Desa Troso menengarai, adanya motif dari daerah lain yang dibuat oleh penenun Desa Troso, lebih disebabkan karena penjualan tenun Troso selama ini sudah ke berbagai daerah di tanah air, termasuk di wilayah Sumba. Pedagang tenun di Bali juga memasarkan tenun Troso, dengan motif menyesuaikan selera konsumen setempat; motif Bali.
Tak tak berlebihan pula jika ada orang Sumba, NTT menilai kain tenun Troso berasal dari daerahnya, karena motif yang ada di tenun troso memang mirip dengan kain tenun Sumba, NTT, lantaran tenun Troso mengadopsi motif dari daerah-daerah Indonesia Timur, termasuk Sumba. Bedanya, kain tenun Troso warnanya didominasi warna cokelat, hitam, merah tua, serta hijau, sehingga terkesan ada nilai lebih dari sisi etnik.
Oleh karena itu, diperlukan pengembangan bentuk motif tenun ikat untuk Desa Troso agar mempunyai karakteristik dan ciri khas tersendiri sehingga lebih dikenal oleh masyarakat. Apalagi Kabupaten Jepara sudah dikenal dengan kerajinan ukirnya. Motif ukir tersebut bisa dikembangkan dan dikreasikan untuk menjadi motif tenun ikat troso. Hal tersebut bertujuan agar tenun ikat troso memiliki karakteristik dan ciri khusus dengan penggambaran motif ukir khas Jepara.
Melihat adanya penilaian-penilaian terkait kain tenun Troso, maka perlu ada diferensiasi terkait warisan leluhur tersebut, agar lebih terasa kekhasannya. Apalagi, berdasarkan data yang dilansir dalam situs resmi pemerintah Desa Troso, bahwa pada 2020, ada sebanyak 111 motif yang didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM, ditambah empat motif asli tenun Troso yang dipatenkan. Empat motif itu adalah motif Kedawung, motif Ampel, motif Belik Boyolali dan motif Si Cengkir. (*)
Siti Maftukhah,
Penulis adalah mahasiswa PPL Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Kudus.