Resensi Buku
Jalan Jurnalisme yang Memanusiakan

0
1643
(Dok. @gp_sindhunata)

Oleh Achmad Ulil Albab*

Suaranahdliyin.com – Sudah banyak buku diterbitkan membahas teori dan kerja-kerja jurnalistik. Ditulis para wartawan senior juga para praktisi. Namun buku yang ditulis Sindhunata ini semakin mengusik rasa ingin tahu yang lebih dalam lagi. Pembaca dibuat betah berlama-lama menyusuri halaman demi halaman buku yang ditulis berdasarkan perjalanan karir kewartawanannya.

Shindunata, memiliki nama lengkap Gabriel Possenti Sindhunata, adalah seorang wartawan harian Kompas. Dia menjadi anak didik langsung dari Jakob Oetama, salah satu pendiri harian Kompas. Sindhunata bekerja di Kompas pada pertengahan 1970-an, dia menjadi wartawan dan menulis untuk Kompas selama 40 tahun.

Shindunata lahir pada 12 Mei 1952 di Kota Batu, Jawa Timur. Dia terkenal karena features-nya tentang kemanusiaan dan kolomnya tentang sepak bola dunia di harian Kompas. Sekarang Shindunata menjadi penanggung jawab Majalah BASIS, Yogyakarta.

Ada 18 tulisan di buku ini. Cara penulisan bukunya sangat bercerita. Mudah dicerna. Mengalir penuh pembelajaran. Tidak kering. Buku pengalaman jurnalistiknya tidak monoton. Shindunata mengedepankan tema kemanusiaan sebagai garis besar tulisannya.

Humanisme sendiri menjadi sebuah visi koran tempatnya bekerja. Itu yang membedakan buku jurnalistik Shindunata dengan buku bertema serupa. Jurnalisme kemanusiaan menjadi sebuah ilmu penting yang perlu diketahui wartawan sekarang.

*

Di halaman awal buku, pembaca langsung disuguhi pengalaman menarik penulis. Saat-saat indah ketika Shindunata melakukan perjalanan jurnalistiknya. Menjadi manusia lapangan. Shindunata menuliskan, hidup wartawan adalah di lapangan. Wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak.

Artinya, wartawan itu harus mencari obyek berita dengan menggunakan kakinya, dengan berjalan terlebih dahulu, sebelum ia menggunakan otak dan pikirannya. Secemerlang apapun otak seorang wartawan, kalau ia malas menggunakan kakinya, ia tidak akan memperoleh berita yang autentik. (hal. 4)

Shindunata benar-benar konsisten menuliskan tema kemanusian di tiap judul tulisannya. Seperti bagaimana mengasah kemanusiaan. Humanisme terus terbentuk karena manusia setia menekuni tradisi humaniora.

Dan unsur pokok humaniora adalah kecintaan untuk membaca teks klasik. Membaca adalah kaki yang bisa membawa wartawan menjelajah ke dalam imanjinasi yang tak terduga, mengail inspirasi dan nilai-nilai kemanusiaan yang luar biasa dalam dan kaya. (hal. 80)

Berita dengan warna dan nilai human interest adalah ciri khas harian Kompas. Nilai humanis adalah nafas dari harian Kompas itu sendiri. Di buku ini Shindunata menunjukkan, wartawan akan bisa membuat berita yang menarik, bila ia juga mengetengahkan beritanya dengan kisah dan nilai-nilai human interest.

Pembaca akan dibuat lebih tersentuh bila mereka bisa merasakan aspek human interest dalam berita yang disajikan. Shindunata mengetengahkan teknik dan cara-cara komunikasi, bagaimana wartawan bisa menggali human interest, lebih-lebih dari kalangan masyarakat bawah, yang cenderung membisu dan diam tentang kisah hidup mereka yang sebenarnya sedemikian bernilai dan kaya. (hal. 103)

Dalam human interest, Sindhunata berharap reporter bisa menempatkan diri seperti seorang penulis fiksi, tentu saja dalam batas-batas fakta yang dihadapinya.

Ia memberikan contoh-contoh tema, seperti tentang permasalahan kekeringan di Gunung Kidul yang sudah dianggap rutin dan bahkan sudah biasa, namun ketika ditonjolkan kisah-kisah manusia di belakangnya, kekeringan itu bisa menjadi kekhawatiran pembaca, bahkan membikin repot pemerintah. Kisah-kisah human interest tidak harus melulu mengenai individu dalam kelompok sosialnya. (hal. 108)

Human interest adalah kisah manusia. Itulah sebabnya ia mempunyai daya pikat, bahkan melebihi dari berita biasa. Karena itu human interest bisa memancing simpati yang berlaku umum.

Agaknya buku ini tepat menjadi salah satu buku pendamping bagi wartawan, untuk mencapai sikap-sikap kewartawanan seperti yang menjadi ageman Sindhunata. Sebab menulis bukan tentang kemampuan teknis saja. Ada hal-hal yang perlu diasah. Salah satunya tentang humanisme.

Buku ini memberi wawasan tentang teknik dan cara-cara komunikasi dalam menggali human interest agar wartawan bisa menghadirkan berita dengan lebih kritis, menyentuh, dan tajam. Pentingnya totalitas dalam kerja jurnalistik, seperti turun ke lapangan, mengumpulkan data, dan jujur terhadap fakta, juga dibahas penulis agar berita yang terbit memiliki kedalaman, kebenaran, dan aktual bagi pembaca di era digital ini.

Ada banya tantangan dalam dunia kewartawanan, terutama dewasa ini. Saya kira pengalaman jurnalistik Sindhunata yang bercantolan dengan visi humanisme dari harian tempatnya bekerja akan mejadi satu lentera yang bisa menuntun ke jalan jurnalisme yang memanusiakan.[]

Judul buku       : Belajar Jurnalistik dari Humanisme Kompas Harga Sebuah Visi
Nama penulis   : Shindunata
Penerbit           : Kompas Gramedia
Tahun terbit      : Oktober, 2019
Halaman           : 380
ISBN                 : 978-602-06-3465-4

 

*) Achmad Ulil Albab, alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Kudus, bergiat di Paradigma Institute (Parist) Kudus
Comments